Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough

ANALISIS WACANA KRITIS

OLEH : EFILIA AGUS ANGGRAINI

 

  1. Latar Belakang

Bahasa merupakan media bagi manusia dalam berkomunikasi. Melalui bahasa, manusia dapat mengungkapkan ide, pikiran, dan perasaannya. Namun demikian, saat ini definisi bahasa telah berkembang sesuai fungsinya bukan hanya se­bagai alat berkomunikasi. Saat ini, bahasa telah menjadi media perantara dalam pelaksanaan kuasa melalui ideologi. Bahkan bahasa juga menyumbang proses domi­nasi ter­hadap orang lain oleh pihak lain (Fair­clough, 1989:2).

Terkait pernyataan di atas, Halliday (1978:2) juga menegaskan bahwa sesungguhnya bahasa bukan hanya terdiri atas kalimat, melainkan juga terdiri atas teks atau wacana yang di dalamnya terdapat tukar-menukar maksud dalam konteks interpersonal antara satu dengan yang lain. Konteks dalam tukar me­nukar maksud itu tidak bersifat kosong dari nilai sosial, tetapi sangat dipengaruhi oleh konteks sosial budaya masyarakatnya. Dalam memahami wacana (naskah/teks), tidak dapat terlepas dari konteksnya. Untuk menemukan ”realitas” di balik teks memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks. Dikarenakan dalam sebuah teks tidak lepas akan kepentingan yang yang bersifat subjektif.

Di dalam sebuah teks juga dibutuhkan penekanannya pada makna (lebih jauh dari interpretasi dengan kemampuan integratif, yaitu inderawi, daya piker dan akal budi). Artinya, setelah mendapat sebuah teks yang telah ada dan juga telah mendapat sebuah gambarang tentang teori yang akan dipakai untuk membedah masalah, maka langkah selanjutnya adalah memadukann kedua hal tersebut menjadi kesatuan yaitu dengan adanya teks tersebut memakai sebuah teori untuk membedahnya

Perkembangan peran dan definisi bahasa ter­sebut telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kajian bahasa (linguistik). Lingu­istik tidak lagi bergerak dalam kajian struktural atau gramatikal, tetapi telah berkembang men­jadi kajian-kajian yang lintas disipliner dengan bidang lain, seperti sosiolinguistik, pragmatik, analisis wacana, neurolinguistik, dan psiko­lingu­istik. Kajian-kajian lintas disipliner itu menandai bahwa bahasa memang berperan besar dalam segala bidang kehidupan masyarakat.

Analisis wacana (kritis) terutama berhutang budi kepada beberapa intelektual dan pemikir, Michel Focult, Antonio Gramsci, Sekolah Frankfrut, Louis Althusser, dan Norman Fairclough. Setiap tokoh-tokoh tersebut menyumbangkan hasil pemikirannya sehingga melahirkan analisis wacana dalam berbagai model. Salah satu tokoh yang bukan akademisi ilmu komunikasi adalah Fairclough. Saat ini dia masih tercatat sebagai Guru Besar linguistik di Department of Linguistics and English Language, Lancaster University, Inggris.

Faiclough berpendapat bahwa analisis wacana kritis adalah bagaimana bahasa menyebabkan kelompok sosial yang ada bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing. Analisis Wacana melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai praktik sosial. Praktik sosial dalam analisis wacana dipandang menyebabkan hubungan yang saling berkaitan antara peristiwa yang bersifat melepaskan diri dari dari sebuah realitas, dan struktur sosial. Oleh karena itu dalam penyusunan makalah kali ini, penyusun bermaksud untuk memaparkan tentang analisis wacana model Norman Fairclough.

  1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah:

  1. Apa karakteristik analisis wacana kritis (AWK)?
  2. Bagaimana analisis wacana kritis (AWK) model Norman Fairclough?
  3. Bagaimana penerapan analisis wacana kritis model Norman Fairclough?
  1. Tujuan

Adapun tujuan dalam penyusunan makalah ini antara lain:

  1. Untuk memaparkan karakteristik analisis wacana kritis;
  2. Untuk menjelaskan analisis wacana kritis model Norman Fairclough;
  3. Untuk memaparkan penerapan analisis wacana kritis model Norman Fairclough.
  1. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dalam penyusunan makalah ini adalah makalah dapat menambah wawasan sekaligus referensi bagi mahasiswa dalam mempelajari wacana, khususnya mengenai analisis wacana model Norman Fairclough.

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. Karakteristik Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat terjadi. Mengutip Fairclough dan Wodak (Badara, 2012:29), analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana penggunaan bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. Berikut ini disajikan karakteristik penting dari analisis wacana kritis yang disarikannya oleh Eriyanto dari tulisan Van Dijk, Fairclough, dan Wodak:

  1. Tindakan

Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Dengan pemahaman semacam itu wacana diasosiasikan sebagai bentuk interaksi. Wacana bukan ditempatkan seperti dalam ruang tertutup dan internal. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk memengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah, bereaksi, dan sebagainya. Seseorang berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Selain itu, wacana juga dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.

  1. Konteks

Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana dalam hal ini diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Merujuk pada pandangan Cook (Badara, 2012:30), analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing. Studi mengenai bahasa di sini memasukkan konteks, karena bahasa selalu berada dalam konteks dan tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, interteks, situasi, dan sebagainya. Meskipun demikian, tidak semua konteks dimasukkan dalam analisis, hanya yang relevan dan berpengaruh atas produksi dan penafsiran teks yang dimasukkan ke dalam analisis.

  1. Histori

Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu berarti wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek yang penting untuk bisa mengerti suatu teks ialah dnegan menempatkan wacana tersebut dalam konteks historis tertentu. Misalnya, kita melakukan analisis wacana teks selebaran mahasiswa yang menentang Suharto. Pemahaman mengenai wacana teks tersebut hanya dapat diperoleh apabila kita dapat memberikan konteks historis di mana teks tersebut dibuat; misalnya, situasi sosial politik, suasana pada saat itu.

  1. Kekuasaan

Di dalam analisis wacana kritis juga dipertimbangkan elemen kekuasaan di dalam analisisnya. Setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. Misalnya, kekuasaan laki-laki dalam wacana mengenai seksisme atau kekuasaan perusahaan yang berbentuk dominasi pengusaha kelas atas kepada bawahan.

  1. Ideologi

Ideologi memiliki dua pengertian yang bertolak belakang. Secara positif, ideologi dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia yang menyatakan nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Adapun secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial. Sebuah teks tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi.

  1. Analisis Wacana Kritis (AWK) Model Norman Fairclough

Norman Fairclough (Badara, 2012:26) mengemukakan bahwa wacana merupakan sebuah praktik sosial dan membagi analisis wacana ke dalam tiga dimensi yaitu text, discourse practice, dan sosial practice. Text berhubungan dengan linguistik, misalnya dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat, juga koherensi dan kohesivitas, serta bagaimana antarsatuan tersebut membentuk suatu pengetian. Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks; misalnya, pola kerja, bagan kerja, dan rutinitas saat menghasilkan berita. Social practice, dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks; misalnya konteks situasi atau konteks dari media dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya politik tertentu.

Berdasarkan hal di atas, maka dirumuskanlah suatu pengertian analisis wacana yang bersifat kritis yaitu suatu pengkajian secara mendalam yang berusaha mengungkapkan kegiatan, pandangan, dan identitas berdasarkan bahasa yang digunakan dalam wacana. Analisis wacana menggunakan pendekatan kritis memperlihatkan ketepaduan: (a) analisis teks; (b) analisis proses, produksi, konsumsi, dan distribusi teks; serta (c) analisis sosiokultural yang berkembang di sekitar wacana itu.

Pendekatan Fairclough dalam menganalisa teks berusaha menyatukan tiga tradisi yaitu (Jorgensen dan Phillips, 2007:124):

  1. Analisis tekstual yang terinci di bidang linguistik;
  2. Analisis makro-sosiologis praktik sosial (termasuk teori Fairclough, yang tidak menyediakan metodologi untuk teks-teks khusus);
  3. Tradisi interpretatif dan mikro-sosiologis dalam sosiologi (termasuk etnometodologi dan analisa percakapan) dimana kehidupan sehari-hari diperlakukan sebagai produk tindakan seseorang. Tindakan tersebut mengikuti sederet prosedur dan “kaidah akal sehat”.

Model Norman Fairclough (Eriyanto, 2001: 286) membagi analisis wacana kritis ke dalam tiga dimensi, yakni:

  1. Dimensi Tekstual (Mikrostruktural)

Setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu representasi, relasi, dan identitas. Fungsi representasi berkaitan dengan cara-cara yang dilakukan untuk menampilkan realitas sosial ke dalam bentuk teks. Analisis dimensi teks meliputi bentuk-bentuk tradisional analisis lingu­istik – analisis kosa kata dan semantik, tata bahasa kalimat dan unit-unit lebih kecil, dan sistem suara (fonologi) dan sistem tulisan. Fair­clough menadai pada semua itu sebagai ‘analisis linguistik’, walaupun hal itu menggunakan istilah dalam pandangan yang diperluas. Ada beberapa bentuk atau sifat teks yang dapat dianalisis dalam membongkar makna melalui dimensi tekstual, diantaranya:

  1. Kohesi dan Koherensi

Analisis ini ditujukan untuk menunjukkan cara klausa dibentuk hingga menjadi kalimat, dan cara kalimat dibentuk hingga membentuk satuan yang lebih besar. Jalinan dalam analisis ini dapat dilihat melalui penggunaan leksikal, pengulangan kata (repetisi), sinonim, antonim, kata ganti, kata hubung, dan lain-lain.

  1. Tata Bahasa

Analisis tata bahasa merupakan bagian yang sangat penting dalam analisis wacana kritis. Analisis tata bahasa dalam analisis kritis lebih ditekankan pada sudut klausa yang terdapat dalam wacana. Klausa ini dianalisis dari sudut ketransitifan, tema, dan modalitasnya. Ketransitifan dianalisis untuk mengetahui penggunaan verba yang mengonstruksi klausa apakah klausa aktif atau klausa pasif, dan bagaimana signifikasinya jika menggunakan nominalisasi. Penggunaan klausa aktif, pasif, atau nominalisasi ini berdampak pada pelaku, penegasan sebab, atau alasan-alasan pertanggungjawaban dan lainnya. Contoh penggunaan klausa aktif senantiasa menempatkan pelaku utama/subjek sebagai tema di awal klausa. Sementara itu, penempatan klausa pasif dihilangkan. Pemanfaatan bentuk nominalisasi juga mampu membiaskan baik pelaku maupun korban, bahkan keduanya.

Tema merupakan analisis terhadap tema yang tertujuan untuk melihat strkutur tematik suatu teks. Dalam analisis ini dianalisis tema apa yang kerap muncul dan latar belakang kemunculannya. Representasi ini berhubungan dengan bagian mana dalam kalimat yang lebih menonjil dibandingkan dengan bagian yang lain. Sedangkan modalitas digunakan untuk menunjukkan pengetahuan atau level kuasa suatu ujaran. Fairclough melihat modalitas sebagai pembentuk hubungan sosial yang mampu menafsirkan sikap dan kuasa. Contoh: penggunaan modalitas pada wacana kepemimpinan pada umumnya akan didapati mayoritas modalitas yang memiliki makna perintah dan permintaan seperti modalitas mesti, harus, perlu, hendaklah, dan lain-lain.

  1. Diksi

Analisis yang dilakukan terhadap kata-kata kunci yang dipilih dan digunakan dalam teks. Selain itu dilihat juga metafora yang digunakan dalam teks tersebut. Pilihan kosakata yang dipaaki terutama berhubungan dengan bagaimana peristiwa, seseorang, kelompok, atau kegiatan tertentu dalam satu set tertentu. Kosakata ini akan sangat menentukan karena berhubungan dengan pertanyaan bagaimana realitas ditandakan dalam bahasa dan bagaimana bahasa pada akhirnya mengonstruksi realitas tertentu. Misalnya pemilihan penggunaan kata untuk miskin, tidak mampu, kurang mampu, marjinal, terpinggirkan, tertindas, dan lain-lain.

  1. Dimensi Kewacanan (Mesostruktural)

Dimensi kedua yang dalam kerangka analisis wacana kritis Norman Fairclough ialah dimensi ke­wacanaan (discourse practice). Dalam analisis dimensi ini, penafsiran dilakukan terhadap pe­mrosesan wacana yang meliputi aspek peng­hasilan, penyebaran, dan penggunaan teks. Be­berapa dari aspek-aspek itu memiliki karakter yang lebih institusi, sedangkan yang lain berupa proses-proses penggunaan dan pe­nyebaran wacana. Berkenaan dengan proses-proses insti­tusional, Fairclough merujuk rutini­tas institusi seperti prosedur-prosedur editor yang dilibat­kan dalam penghasilan teks-teks media. Praktik wacana meliputi cara-cara para pekerja media memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan wartawan itu sendiri selaku pribadi; sifat jaringan kerja wartawan dengan sesama pekerja media lainnya; pola kerja media sebagai institusi, seperti cara meliput berita, menulis berita, sampai menjadi berita di dalam media. Fairclough mengemukakan bahwa analisis kewacananan berfungsi untuk mengetahui proses produksi, penyebaran, dan penggunaan teks. Dengan demikian, ketiga tahapan tersebut mesti dilakukan dalam menganalisis dimensi kewacanan.

  1. Produksi Teks

Pada tahap ini dianalisis pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi teks itu sendiri (siapa yang memproduksi teks). Analisis dilakukan terhadap pihak pada level terkecil hingga bahkan dapat juga pada level kelembagaan pemilik modal. Contoh pada kasus wacana media perlu dilakukan analisis yang mendalam mengenai organisasi media itu sendiri (latar belakang wartawan redaktur, pimpinan media, pemilik modal, dll). Hal ini mengingat kerja redaksi adalah kerja kolektif yang tiap bagian memiliki kepentingan dan organisasi yang berbeda-beda sehingga teks berita yang muncul sesungguhnya tidak lahir dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil negosiasi dalam ruang redaksi.

  1. Penyebaran Teks

Pada tahap ini dianalisis bagaimana dan media apa yang digunakan dalam penyebaran teks yang diproduksi sebelumnya. Apakah menggunakan media cetak atau elektronik, apakah media cetak koran, dan lain-lain. Perbedaan ini perlu dikaji karena memberikan dampak yang berbeda pada efek wacana itu sendiri mengingat setiap media memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Contoh: pada kasus wacana media wacana yang disebarkan melalui televisi dan koran memberi efek/dampak yang berbeda terhadap kekuatan teks itu  sendiri. Televisi melengkapi dirinya dengan gambar dan suara, namun memiliki keterbatasan waktu. Sementara itu koran tidak memiliki kekuatan gambar dan suara, tapi memiliki kekekalan waktu yang lebih baik dibandingkan televisi.

  1. Konsumsi Teks

Dianalisis pihak-pihak yang menjadi sasaran penerima/pengonsumsi teks. Contoh pada kasus wacana media perlu dilakukan analisis yang mendalam mengenai siapa saja pengonsumsi media itu sendiri. setiap media pada umumnya telah menentukan “pangsa pasar”nya masing-masing.

  1. Dimensi Praktis Sosial-Budaya (Makrostruktural)

Dimensi ketiga adalah analisis praktik sosio­budaya media dalam analisis wacana kritis Norman Fairclough merupakan analisis tingkat makro yang didasarkan pada pendapat bahwa konteks sosial yang ada di luar media se­sungguhnya memengaruhi bagaimana wacana yang ada ada dalam media. Ruang redaksi atau wartawan bukanlah bidang atau ruang kosong yang steril, tetapi juga sangat ditentukan oleh faktor-faktor di luar media itu sendiri. Praktik sosial-budaya menganalisis tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan identitas) yang juga mempengaruhi istitusi media, dan wacananya. Pembahasan praktik sosial budaya meliputi tiga tingkatan Tingkat situasional, berkaitan dengan produksi dan konteks situasinya Tingkat institusional, berkaitan dengan pengaruh institusi secara internal maupun eksternal. Tingkat sosial, berkaitan dengan situasi yang lebih makro, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Tiga level analisis sosiocultural practice ini antara lain:

  1. Situasional

Setiap teks yang lahir pada umumnya lahir pada sebuah kondisi (lebih mengacu pada waktu) atau suasana khas dan unik. Atau dengan kata lain, aspek situasional lebih melihat konteks peristiwa yang terjadi saat berita dimuat.

  1. Institusional

Level ini melihat bagaimana persisnya sebuah pengaruh dari institusi organisasi pada praktik ketika sebuah wacana diproduksi. Institusi ini bisa berasal dari kekuatan institusional aparat dan pemerintah juga bisa dijadikan salah satu hal yang mempengaruhi isi sebuah teks.

  1. Sosial

Aspek sosial melihat lebih pada aspek mikro seperti sistem ekonomi, sistem politik, atau sistem budaya masyarakat keseluruhan. Dengan demikian, melalui analisis wacana model ini, kita dapat mengetahui inti sebuah teks dengan membongkar teks tersebut sampai ke hal-hal yang mendalam. Ternyata, sebuah teks pun mengandung ideologi tertentu yang dititipkan penulisnya agar masyarakat dapat mengikuti alur keinginan penulis teks tersebut. Namun, ketika melakukan analisis menggunakan model ini kita pun harus berhati-hati jangan sampai apa yang kita lakukan malah menimbulkan fitnah karena tidak berdasarkan sumber yang jelas.

  1. Penerapan Analisis Wacana Kritis Model Norman Fairclough

Analisis Mikro Pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival”

Dari berbagai alat kebahasaan yang digunakan media Indonesia dalam pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival”, terdapat tiga alat yang me­nandai representasi tema dan tokoh yang ter­libat dalam pemberitaan tersebut di atas. Yaitu melalui diksi, penggunaan kalimat luas sebab akibat, dan pemilihan sumber dalam kutipan langsung. Di bawah ini adalah analisis dari aspek kebahasaan tersebut.

(1) Pada hari terakhir festival, Wayang Jurnalis bakal dipentaskan sore nanti.

(2) Cerita Wahyu Cakraningrat yang pernah dipentaskan tahun lalu akan menjadi varian tema pementasan bersama para pengisi acara dari Aceh, Toba, Padang, Bogor, Bandung, Losari, Yogyakarta, Surakarta, Jombang, Bali, dan Flores, serta dari Belgia, Jerman, Hongaria, Italia, Ukraina, Meksiko, dan Amerika.

(3) Ditargetkan, sebanyak 7.500 orang akan hadir.

Contoh data (1) – (3) menandai bahwa untuk kasus dalam konteks yang sama, Media Indo­nesia memilih diksi yang bermacam-macam, yaitu diksi bakal dan akan. Kedua diksi tersebut memiliki makna semantik yang berlainan pula. Secara sematik leksikal, makna kata bakal  yang berarti ‘sesuatu yang akan menjadi; calon; yang akan dibuat’ sedangkan makna kata akan berarti ‘menyatakan sesuatu yang hendak terjadi’, sehingga kata akan me­miliki makna yang lebih netral dibandingkan kata bakal, akan tetapi dalam konteks suatu kalimat dapat memiliki arti yang hampir sama yakni ‘hendak terjadi’.

(4) Kami ingin mengapresiasi karena para jurnalis ini perhatian dengan tradisi kita”, ungkap salah satu konseptor Gunungan Festival, Iman Nur Adi.

(5) Mereka menampilkan kisah klasik tentang wahyu keraton, Wahyu Cakraningrat. Barang siapa yang mendapat wahyu itu dipastikan mendapat gelar raja.

(6) Mereka antara lain Media Indonesia, Bisnis Indonesia, Kompas, Kabar24.com, Wanita Indonesia, Kartini, Cosmopolitan, Inilah.com, Tembi Rumah Budaya, Hai, Esquire, Gohitzz.com, Majalah Venue, dan Trax dengan bintang tamu Mario Kahitna.

(7) Bahkan, sebagian dari mereka yang sudah memiliki anak juga turut mengikuti kursus tari di Wayang Bharata.

Sedangkan contoh data (4)-(7) menandai adanya kata ganti yang digunakan dalam wacana tersebut. Kata ganti yang digunakan antara lain kami dan mereka. kata ganti kami pada data (4) merujuk pada para konseptor gunungan festival. Sedangkan kata mereka pada data (5)-(7) merujuk pada para jurnalis (media pemberitaan) yang turut serta dalam gunungan festival.

(8) Kami ingin mengapresiasi karena para jurnalis ini perhatian dengan tradisi kita.

Sementara itu, contoh data (8) me­rupakan contoh data pemanfaatan strategi lingu­istik yang berupa struktur kalimat. Kalimat luas pada data (8) di atas memiliki hubungan sebab-akibat yang ditandai dengan konjungsi karena di awal kalimat karena setelah induk kalimat.

(9) Sang produser, Trishi Setiayu, mengatakan setiap jurnalis yang tergabung memberikan komitmen besar untuk hadir latihan dan memberikan pentas terbaiknya.

Sedangkan contoh data (9) merupakan contoh data pemanfaatan strategi linguistik yang berupa struktur kalimat yang memiliki hubungan sederajat karena ditandai dengan konjungsi dan yang menyatakan kesetaraan dalam suatu kalimat.

(10) Kami ingin mengapresiasi karena para jurnalis ini perhatian dengan tradisi kita”, ungkap salah satu konseptor Gunungan Festival, Iman Nur Adi.

(11) Sang produser, Trishi Setiayu, mengatakan setiap jurnalis yang tergabung memberikan komitmen besar untuk hadir latihan dan memberikan pentas terbaiknya.

Selain itu, dalam wacana tersebut juga menggunakan substitusi persona, yakni penggantian kata ganti orang. Pada contoh data (10) kata salah satu konseptor Gunungan Festival merupakan substitusi persona dari Imam Nur Adi. Kemudian pada contoh data (11) kata sang produser adalah substitusi persona dari Trishi Setiayu.

Selain aspek kebahasaan secara struktural atau gramatikal, yang tidak kalah menariknya adalah cara Media Indonesia menyuarakan inspirasi­nya melalui kutipan langsung para tokoh yang men­jadi narasumber. Berdasarkan data yang ada, se­cara kutipan langsung dapat diketahui bahwa Media Indonesia ingin menyuarakan bahwa wayang dapat dimainkan oleh siapa saja yang ingin memainkannya, sehingga mengapresiasi wayang dapat dilakukan oleh siapa pun. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan data berikut:

(12) “Wayang Jurnalis mewakili wayang orang dari Jakarta. Ternyata wayang bisa dimainkan siapa pun, tidak hanya seniman. Kami ingin mengapresiasi karena para jurnalis ini perhatian dengan tradisi kita”, ungkap salah satu konseptor Gunungan Festival, Iman Nur Adi.

 

Analisis Meso Pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival”

Media Indonesia terbit pertama kali pada tanggal 19 Januari 1970 sebagai koran dengan jangkau­an nasional dimana koran Media Indo­nesia dapat diperoleh di 33 propinsi yang ter­sebar di 429 kabupaten / kotamadya di seluruh Indonesia. Direk­tur Utama Media Indonesia adalah Surya Paloh dan Teuku Yousli Syah se­bagai Pimpinan Redaksi.

Berdasarkan hasil survei yang dikeluarkan oleh Mark Plus Insight menempatkan Media Indo­nesia pada urutan ke-3 besar (12.22%) sebagai koran yang dibaca para eksekutif untuk meng­akses berita ekonomi dan bisnis. Readership Profile Media Indonesia adalah: 63% pria dan 37% wanita, Usia produktif 20-49 tahun (87%), Social Economic Status A1-A2-B Class (76%), Mayoritas pekerjaan White collars (44%),  Psikografis pem­baca Media Indonesia adalah western minded, optimist dan juga settled (Sumber: Media Indo­nesia online).

Visi yang diemban Harian Umum Media Indo­nesia adalah  menjadi surat kabar independen yang inovatif, lugas, terpercaya dan paling ber­pengaruh. Independen artinya adalah menjaga sikap non-partisan, dimana karyawannya tidak menjadi pengurus partai politik, menolak segala bentuk pemberian yang dapat mempengaruhi objek­tifitas, dan mempunyai keberanian untuk bersikap beda. Inovatif berarti terus-menerus me­­nyempurnakan serta mengembangkan SDM (sumber daya manusia), serta secara terus me­nerus me­ngembangkan rubrik, halaman, dan penyempur­naan perwajahan. Lugas berarti selalu melaku­kan check dan re-check, meliput berita dari dua pihak dan seimbang, serta selalu melakukan in­vestigasi dan pendalaman. Ber­pengaruh berarti dengan target bahwa Media Indonesia dibaca oleh para pengambil keputus­an, memiliki kuali­tas editorial yang dapat mem­pengaruhi peng­ambilan keputusan, mampu membangun ke­mampuan antisipatif, mampu membangun net­work narasumber dan memiliki pemasaran / dis­tribusi yang handal.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa sebagai media terbesar ketiga, Media Indo­nesia  merupakan harian umum yang dapat mempengaruhi opini masyarakat Indo­nesia dengan cukup luas. Rangkaian produksi teks di Media Indonesia juga bukan hanya merupakan rangkai­an yang berdiri sendiri, tetapi merupa­kan rang­kai­an institusional yang melibatkan wartawan, redaksi, editor, bahkan pemilik modal, dan lain-lain. Reali­sasi teks yang dihasilkan Media Indonesia khususnya dalam hal pemberitaan Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival ini juga dinilai selaras dengan visi yang di­emban yaitu, inovatif, lugas, terpercaya dan paling berpengaruh.

Analisis Makro Pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival”

Situasi sosial budaya yang terjadi saat pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Fstival” ini tidak dapat dilepaskan  kontkes yang membangun pemberitaan tersebut. Dapat diketahui bersama bahwa pada saat pemberitaan berlangsung, tengah terselenggarakannya Gunungan Festival, yakni festival topeng dan wayang berskala internasional, yang keempat kalinya di Bale Pare Kota Baru Parahyangan, Padalarang, sepanjang pekan lalu, tepatnya pada 22-24 Mei 2015. Seluruh peristiwa tersebut men­dapat liputan yang luas dari berbagai media yang ada di Indonesia ter­masuk Media Indonesia.

Selain hal tersebut di atas, Gunungan Festival ini merupakan langkah untuk melestarikan kebudayaan topeng dan juga wayang yang semaki tergerus oleh modernisasi, padahal keduanya merupakan sebuah kekayaan Indonesia yang sangat tinggi nilainya. Dalam festival kali ini akan mengangkat wayang sebagai tema utama dimana akan mengeksplorasi secara komprehensif, mulai dari pertunjukkan, pameran, workshop, hingga talkshow yang masing-masing akan disampaikan oleh pakarnya.

Festival ini juga melibatkan wayang jurnalis yang dipentaskan pada hari terakhir festival. Wayang jurnalis memilih untuk menampilkan kisah Wahyu Cakraningrat. Barang siapa yang mendapat wahyu itu dipastikan mendapat gelar raja. Kisah itu pun diinterpretasikan para jurnalis sebagai cerminan situasi politik bangsa ini. Beragam guyonan dan sindiran soal negara pun diselipkan pada naskah yang diperankan pemimpin redaksi, managing editor, hingga reporter dari lintas media. Mereka antara lain Media Indonesia, Bisnis Indonesia, Kompas, Kabar24.com, Wanita Indonesia, Kartini, Cosmopolitan, Inilah.com, Tembi Rumah Budaya, Hai, Esquire, Gohitzz.com, Majalah Venue, dan Trax dengan bintang tamu Mario Kahitna.

Meski tidak berkaitan secara langsung, tetapi dapat ditarik benang merah atas pemberitaan yang dihasilkan oleh Media Indonesia, erat kaitannya dengan eksistensi Media Indonesia dalam melestarikan warisan bangsa dengan mengikuti festival tersebut. Ada motivasi tertentu dalam pemberitaan tersebut dalam pencitraan Media Indonesia. Dengan demikian, opini pembaca digiring untuk memberikan pencitraan positif pada Media Indonesia sebagai media yang aktif dan eksis dalam kegiatan pelestarian budaya bangsa.

 

 

 

BAB IV

SIMPULAN

 

Mengutip Fairclough dan Wodak (Badara, 2012:29), analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana penggunaan bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. Berikut ini disajikan karakteristik penting dari analisis wacana kritis yang disarikannya oleh Eriyanto dari tulisan Van Dijk, Fairclough, dan Wodak: Tindakan, Konteks, Histori, Kekuasaan, dan Ideologi.

Norman Fairclough (Badara, 2012:26) mengemukakan bahwa wacana merupakan sebuah praktik sosial dan membagi analisis wacana ke dalam tiga dimensi yaitu text, discourse practice, dan sosial practice.

Dari berbagai alat kebahasaan yang digunakan media Indonesia dalam pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival”, terdapat tiga alat yang me­nandai representasi tema dan tokoh yang ter­libat dalam pemberitaan tersebut di atas. Yaitu melalui diksi, penggunaan kalimat luas sebab akibat, dan pemilihan sumber dalam kutipan langsung. Rangkaian produksi teks di Media Indonesia juga bukan hanya merupakan rangkai­an yang berdiri sendiri, tetapi merupa­kan rang­kai­an institusional yang melibatkan wartawan, redaksi, editor, bahkan pemilik modal, dan lain-lain. Reali­sasi teks yang dihasilkan Media Indonesia, khususnya dalam hal pemberitaan Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival ini juga dinilai selaras dengan visi yang di­emban yaitu, inovatif, lugas, terpercaya dan paling berpengaruh. Ada motivasi tertentu dalam pemberitaan tersebut dalam pencitraan Media Indonesia. Dengan demikian, opini pembaca digiring untuk memberikan pencitraan positif pada Media Indonesia sebagai media yang aktif dan eksis dalam kegiatan pelestarian budaya bangsa.

Daftar Pustaka

Badara, Aris. 2012. Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Eriyanto. 2006. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS.

Mayasari, dkk. 2012. Analisis Wacana Kritis Pemberitaan “Saweran untuk Gedung KPK di Harian Umum Media Indonesia [online]. http://jlt-polinema.org/?p=296, diakses pada 22 Mei 2015.

 

 

 

 

Satu respons untuk “Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough

Tinggalkan komentar