hakikat Belajar dan Pembelajaran

HAKIKAT BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

Oleh:Efilia Agus Anggraini

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. 1.      Latar Belakang

Sejak mata terbuka di dunia ini, tidak ada satu pun manusia yang tidak mengalami proses belajar. Tidak terkecuali seorang bayi yang baru dilahirkan ke dunia ini. Bahkan suara tangisan bayi pun dapat dikatakan sebagai proses belajar.  Belajar dapat diartikan sebagai suatu proses sehari-hari dalam hidup seorang individu. Sehingga wajar apabila ada suatu hadist yang berbunyi, “Carilah ilmu (belajar) dari buaian seorang ibu hingga ke liang lahat”. Dalam dunia pendidikan lebih dikenal dengan istilah long life education atau pendidikan seumur hidup.

Di era sekarang, banyak ilmuwan yang mendefinisikan pengertian belajar. Hal ini juga dipengaruhi oleh perkembangan ilmu psikologi. Berbagai pengertian belajar yang dipaparkan oleh beberapa ahli ini terdapat perbedaan meskipun pada akhirnya tertuju pada satu tujuan belajar, yaitu perubahan tingkah laku. Namun demikian, tidak sedikit pula yang masih rancu dalam membedakan pengertian antara belajar dan pembelajaran, serta pengajaran. Oleh karena itu, dalam penyusunan makalah ini berusaha memaparkan hakikat belajar dan pembelajaran.

 

  1. 2.      Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana pengertian belajar dan pembelajaran?
  2. Apa ciri-ciri dari belajar dan pembelajaran?
  3. Apa tujuan dari belajar dan pembelajaran?

 

  1. 3.      Tujuan

Adapun tujuan dari penyusunan makalah sebagai berikut:

  1. Untuk memaparkan pengertian belajar dan pembelajaran.
  2. Untuk menjelaskan ciri-ciri belajar dan pembelajaran.
  3. Untuk menjelaskan tujuan belajar dan pembelajaran.

 

 

BAB II

HAKIKAT BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

 

  1. A.      Pengertian Belajar

Menurut Burton, dalam sebuah buku “The Guidance of Learning Activities”, merumuskan pengertian belajar sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya. Dalam buku “Educational Psychology, H.C Witherington, mengemukakan bahwa belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari reaksi berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepribadian atau suatu pengertian. Lain lagi dengan James O. Whittaker, yang mengemukakan belajar adalah proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.

Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa memperoleh sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Tindakan belajar tentang suatu hal tersebut tampak sebagai perilaku belajar yang tampak dari luar (Dimyati, 2010:7).

Dengan demikian, belajar adalah suatu proses yang berlangsung sehari-hari, baik disadari ataupun tidak disadari dan mempengaruhi perubahan tingkah laku sebagai suatu pola baru dari reaksi berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepribadian atau suatu pengertian. Belajar juga dapat diartikan suatu aktivitas untuk memperoleh pengetahuan. Berikut ini adalah belajar menurut beberapa ahli:

  1. Belajar menurut Skinner

Skinner berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responsnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responsnya menurun. Dengan kata lain, perilaku manusia dapat diamati secara langsung sebagai akibat dari konsekuensi perbuatan sebelumnya. Dalam belajar ditemukan adanya hal berikut:

  1. Kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respons pelajar.
  2. Respons pelajar, dan
  3. Konsekuensi yang bersifat menguatkan respons tersebut.

Menurut teori Skiner, setiap kali memperoleh stimulus maka seseorang akan memberikan respons berdasarkan hubungan S-R (Stimulus-Respons). Respons yang diberikan ini dapat sesuai “R” (benar) atau tidak sesuai “F” (salah) seperti apa yang diharapkan. Respons yang benar perlu diberikan penguatan (Ainurrahman, 2012:40)

Sebagai contoh adalah ketika seorang siswa dapat menjawab pertanyaan yang diberikan guru dengan benar akan mendapat pujian bahkan hadiah. Sedangkan siswa yang melanggar peraturan sekolah akan mendapatkan sanksi, baik berupa teguran ataupun hukuman.

  1. Belajar menurut Gagne

Menurut Gagne, belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar, orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Timbulnya kapabilitas tersebut adalah (i) stimulus yang berasal dari lingkungan, dan (ii) proses kognitif yang dilakukan oleh pelajar. Dengan demikian, belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru (Dimyati, 2010:10).

Di samping itu, Gagne juga berpendapat bahwa belajar bukan merupakan sesuatu yang terjadi secara alamiah, akan tetapi hanya akan terjadi dengan adanya kondisi-kondisi tertentu, yaitu kondisi internal dan kondisi eksternal. Kondisi insternal ini meliputi kesiapan pelajar dan sesuatu yang telah dipelajari. Sedangkan kondisi eksternal merupakan situasi belajar yang secara sengaja diatur oleh guru dengan tujuan mempelancar proses belajar, yang meliputi persiapan bahan materi, rancangan pembelajaran, sarana dan prasarana lainnya.

Gagne menyimpulkan ada lima macam hasil belajar (Ainurrahman, 2012:47), yaitu:

  1. Keterampilan intelektual, atau pengetahuan prosedural yang mencakup belajar konsep, prinsip dan pemecahan masalah yang diperoleh melalui penyajian materi di sekolah. Keterampilan ini berfungsi untuk berhubungan dengan lingkungan hidup serta mempresentasikan konsep dan lambang.
  2. Strategi kognitif, yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah baru dengan jalan mengatur proses internal masing-masing individu dalam memperhatikan, belajar, mengingat, dan berpikir. Dalam hal ini ditekankan pada kemandirian siswa dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
  3. Informasi verbal, yaitu kemampuan untuk mendeskripsikan sesuatu dengan kata-kata dengan jalan mengatur informasi-informasi yang relevan.  Artinya, siswa mampu mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Misalnya, ketika seorang siswa diminta untuk menceritakan kembali isi sebuah cerita yang telah dibaca dengan menggunakan bahasanya sendiri.
  4. Keterampilan motorik, yaitu kemampuan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan gerakan-gerakan yang berhubungan dengan otot.  Keterampilan ini sangat berperan dalam proses mempelajari suatu gerakan tari, ataupun mempraktekkan suatu gerakan olahraga.
  5. Sikap, yaitu kemampuan internal yang mempengaruhi tingkah laku seseorang yang didasari oleh emosi, kepercayaan-kepercayaan, serta faktor intelektual. Ringkasnya, sikap merupakan kemampuan menerima atau menolak obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek tersebut.
  6. Belajar menurut Piaget

Piaget berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus-menerus dengan lingkungan. Lingkungan tersebut mengalami perubahan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang. Perkembangan intelektual melalui tahap-tahap berikut:

  1. Sensori motorik (0-2 tahun), pada tahap ini anak mengenal lingkungan dnegan kemampuan sensorik dan motorik, yaitu pengelihatan, penciuman, pendengaran, perabaan, dan gerakan.
  2. Pra-operasional (2-7 tahun), pada tahap ini anak mengandalkan diri pada persepsi tentang realitas. Ia telah mampu menggunakan simbol, bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi, membuat gambar, dan menggolong-golongkan. Pada umumnya, anak berada pada jenjang pendidikan TK atau playgroup.
  3. Operasional konkret (7-11 tahun), anak mengembangkan pikiran logis. Anak dapat mengikuti penalaran logis, walaupun kadang-kadang memecahkan masalah secara “trial and error”.
  4. Oprasional formal (11 tahun ke atas), anak dapat berpikir abstrak seperti orang dewasa. Semakin hari, kemampuan anak semakin bertambah dan mampu menemukan hal-hal baru yang dapat membantu proses belajarnya.
  5. Belajar menurut Rogers

Rogers mengemukakan pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan. Prinsip pendidikan dan pembelajaran tersebut sebagai berikut:

  1. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
  2. Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.
  3. Pengorganisasian bahan ajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru, sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
  4. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses-proses belajar, keterbukaan belajar mengalami sesuatu, bekerja sama dengan melakukan pengubahan diri terus-menerus.
  5. Belajar yang optimal akan terjadi, bila siswa berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam proses belajar.
  6. Belajar mengalami dapat terjadi, bila siswa mengevaluasi dirinya sendiri.
  7. Belajar mengalami menuntut keterlibatan siswa secara penuh dan sungguh-sungguh.

Rogers juga mengemukakan saran tentang langkah-langkah pembelajaran yang perlu dilakukan oleh guru. Saran pembelajaran itu meliputi hal berikut:

  1. Guru memberi kepercayaan kepada kelas agar kelas memilih belajar secara terstruktur.
  2. Guru dan siswa membuat kontrak belajar.
  3. Guru menggunakan metode inkuiri, atau belajar menemukan.
  4. Guru menggunakan metode simulasi.
  5. Guru mengadakan latihan kepekaan agar siswa mampu menghayati perasaan dan berpartisipasi dengan kelompok belajar lain.
  6. Guru bertindak sebagai fasilitator belajar.
  7. Sebaiknya guru menggunakan pengajaran berprogram agar tercipta peluang bagi siswa untuk timbulnya kreativitas (Dimyati, 2010:16-17).

 

  1. B.       Ciri-ciri Belajar
  • Aktifitas yang dapatmenghasilkanperubahandalamdiriseseorangbaiksecara aktualdanpotensial. Baik dapat diamati secara langsung ataupun tidak dapat diamati secara langsung.
  • Perubahan yang didapatsesungguhnyaadalahkemampuan yang barudanditempuhdalamjangkawaktu yang lama. Kemampuan ini akan tumbuh dan berkembang secara bertahap, tidak dapat bersamaan secara begitu saja. Dalam suatu perubahan selalu terdapat serangkaian proses.
  • Perubahanterjadikarenaadausahadaridalamdirisetiapindividu. Artinya, tidak ada suatu perubahan yang instant. Misalnya, untuk dapat mengendarai sepeda, seseorang harus selalu berusaha meskipun sering jatuh dari sepeda atau menabrak pagar (Ainurrahman, 2012:35-37).

 

  1. C.  Tujuan Belajar

Diantara belajar, mengajar, dan pembelajaran menunjuk pada sesuatu yang berbeda, namun kesemuanya merujuk pada tujuan yang sama, yaitu terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku, baik yang dapat diamati ataupun tidak dapat diamati. Belajar mungkin saja terjadi tanpa pembelajaran, namun pengaruh aktivitas pembelajaran dalam belajar hasilnya lebih sering menguntungkan dan biasanya lebih mudah diamati. Hal ini dikarenakan pembelajaran yang berupaya mengubah masukan berupa siswa yang belum terdidik, menjadi siswa terdidik, siswa yang belum memiliki pengetahuan, menjadi siswa yang memiliki pengetahuan.

Siswa yang belajar berarti menggunakan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ada beberapa ahli yang mempelajari ranah-ranah tersebut dengan hasil penggolongan kemampuan-kemampuan pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik secara hirarkis. Hasil penelitian mereka dikenal dengan “Taksonomi Instruksional Bloom dan kawan-kawan” . masing-masing ranah dijelaskan sebagai berikut (Ainurahman, 2012: 47-49):

  1. Ranah Kognitif (Bloom, dkk), terdiri dari enam jenis perilaku (dari tingkat rendah ke tingkat tinggi):

a)         Pengetahuan, mencakup kemampuan ingatan tentang hal-hal yang telah dipelajari dan tersimpan di dalam ingatan.

b)        Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap sari dan makna hal-hal yang dipelajari.

c)         Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode, kaidah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru.

d)        Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik.

e)         Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru, misalnya tampak di dalam kemampuan menyusun suatu program kerja.

f)         Evaluasi, mecakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan kriteria tertentu.

2.  Ranah Afektif (Krathwohl dan Bloom, dkk), terdiri tujuh jenis perilaku, yaitu:

a)         Penerimaan, yang mencakup kepekaan tentang hal tertentu dan kesediaan memperhatikan hal tersebut.

b)        Partisipasi, yang mencakup kerelaan, kesediaan memperhatikan dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan.

c)         Penilaian dan penentuan sikap, yang mencakup penerimaan terhadap suatu nilai, menghargai, mengakui, dan menentukan sikap.

d)        Organisasi, yang mencakup kemampuan membentuk suatu sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan hidup.

e)         Pembentukan pola hidup, yang mencakup kemampuan menghayati nilai, dan membentuknya menjadi pola nilai kehidupan pribadi.

3.  Ranah Psikomotor (Simpson), terdiri dari tujuh perilaku atau kemampuan motorik, yaitu:

a)    Persepsi, yang mencakup kemampuan memilah-milahkan sesuatu secara khusus dan menyadari adanya perbedaan antara sesuatu tersebut.

b)   Kesiapan, yang mencakup kemampuan menempatkan diri dalam suatu keadaan di mana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan. Kemampuan ini mencakup aktivitas jasmani dan rohani.

c)    Gerakan terbimbing, mencakup kemampuan melakukan gerakan sesuai contoh, atau gerakan peniruan.

d)   Gerakan terbiasa, mencakup kemampuan melakukan gerakan-gerakan tanpa contoh.

e)    Gerakan kompleks, yang mencakup kemampuan melakukan gerakan atau keterampilan yang terdiri dari banyak tahap secara lancar, efisien dan tepat.

f)    Penyesuaian pola gerakan, yang mencakup kemampuan mengadakan perubahan dan penyesuaian pola gerak-gerik dengan persyaratan khusus yang berlaku.

g)   Kreativitas, mencakup kemampuan melahirkan pola-pola gerak-gerik yang baru atas dasar prakarsa sendiri.

Meskipun antara ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik menunjukkan perbedaan, namun ketiga ranah tersebut sama-sama merupakan kegiatan yang dinamis, dimana siswa melalui keaktifannya akan dapat secara terus-menerus mengembangkan kemampuan atau keterampilannya untuk mencapai tingkatan-tingkatan kemampuan yang lebih tinggi melalui proses belajar atau latihan yang dilakukan. Sehingga ketiga ranah di atas bukan merupakan bagian-bagian yang terpisah, tetapi merupakan satu kesatuan yang saling terkait.

 

  1. D.  Pengertian pembelajaran

Pembelajaran adalah suatusistematau proses membelajarkansubjekdidik/pembelajar yang direncanakanataudidesain, dilaksanakan, dandievaluasisecarasistematis agar subjekdidik/pembelajardapatmencapaitujuan-tujuanpembelajaransecaraefektifdanefisien.

Menurut Dimyati dan Mudjiono, pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 20 dinyatakan bahwa Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran merupakan suatu usaha sadar seorang pendidik untuk membuat peserta didik belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri peserta didik, dimana perubahan itu ditandai dengan adanya kemampuan baru dalam diri peserta didik dan memerlukan waktu yang lama karena adanya suatu usaha tertentu. Pembelajaran membutuhkan interaksi antara pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan tertentu dengan maksimal.

  1. Pembelajaran sebagai sistem

Pembelajaranterdiridarisejumlahkomponen yang terorganisirantara lain tujuanpembelajaran , materipembelajaran , strategidanmetodepembelajaran, media pembelajaran/alatperaga , pengorganisasiankelas, evaluasipembelajaran, dantindaklanjutpembelajaran (remedial danpengayaan).

  1. Pembelajaran sebagai proses

Pembelajaranmerupakanrangkaianupayaataukegiatan guru dalamrangkamembuatsiswabelajar, meliputi:

  • Persiapan, merencanakan program pengajarantahunan, semester, danpenyusunanpersiapanmengajar (lesson plan) danpenyiapanperangkatkelengkapannyaantara lain alatperaga, danalatevaluasi, bukuatau media cetaklainnya.
  • Melaksanakankegiatanpembelajarandenganmengacupadapersiapanpembelajaran  yangtelahdibuatnya. Banyakdipengaruhiolehpendekatanataustrategidanmetode-metodepembelajaran yang telahdipilihdandirancangpenerapannya, sertafilosofikerjadankomitmen guru , persepsi, dansikapnyaterhadapsiswa;
  • Menindaklanjutipembelajaran  yangtelahdikelolanya. Kegiatanpascapembelajaraninidapatberbentukenrichment (pengayaan), dapat pula berupapemberianlayananremedial teachingbagisiswa yang berkesulitanbelajar.

 

  1. E.  Ciri-ciri Pembelajaran
  • Adanya interaksi

Interaksi merupakan ciri utama dari kegiatan pembelajaran, baik antara peserta didik dengan lingkungan belajarnya, maupun pendidik dengan peserta didik.

  • Hubungan antar komponen-komponen pembelajaran.

Menurut Sumiati dan Asra (2009:3) komponen-komponen pembelajaran meliputi: guru, isi atau materi pembelajaran, dan siswa. Interaksi antara tiga komponen utama melibatkan metode pembelajaran, media pembelajaran, dan penataan lingkungan tempat belajar, sehingga tercipta lingkungan yang kondusif guna mencapai tujuan pembelajaran.

  • Tujuan pembelajaran harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses berlangsung dan pelaksanaannya terkendali, baik waktu, isi, proses maupun hasilnya.
  • Pembelajaran harus membuat siswa belajar karna pembelajaran merupakan proses yang disengaja dan terencana.

 

  1. F.   Tujuan Pembelajaran

Menurut Robert F. Meager (2009:10), tujuan pembelajaran adalah maksud yang dikomunikasikan melalui pernyataan yang menggambarkan tentang perubahan yang diharapkan dari siswa. Menurut H. Daryanto (2005:58), tujuan pembelajaran adalah tujuan yang menggambarkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan sikap yang harus dimiliki siswa sebagai akibat dari hasil pembelajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku yang dapat diamati dan diukur. Sedangkan menurut B. Suryosubroto menegaskan bahwa tujuan pembelajaran adalah rumusan secara terperinci apa saja yang harus dikuasai oleh siswa sesudah ia melewati kegiatan pembelajaran yang bersangkutan dengan hasil. Tujuan pembelajaran tercantum dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). RPP merupakan komponen penting dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan yang pengembangannya harus dilakukan secara profesional.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perumusan tujuan pembelajaran harus berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta indikator yang telah ditentukan. Tujuan pembelajaran juga harus dirumuskan secara lengkap agar tidak menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam. Secara ringkas, tujuan pembelajaran merupakan harapan yang hendak dicapai dalam proses belajar melalui rancangan terprogram yang dibuat pendidik dan sebagai akibat dari hasil pembelajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku yang dapat diamati dan diukur.

 

Sumber:

Ainurahman. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Dimyati, dan Drs. Mudjiono. 2010. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Undang Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS.

 

       
     
 

14

 

 

 

 

 

 

Prinsip-Prinsip Belajar dan Pembelajaran

PRINSIP-PRINSIP BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

Oleh:Efilia Agus Anggraini

BABI

PENDAHULUAN

  1. A.    Latar Belakang

Belajar dan pembelajaran adalah proses yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai faktor. Untuk memahami dan  meningkatkan cara pembelajaran guru harus memahami faktor-faktor tersebut diantaranya sebagai berikut (Abdorrakhman, 2010:2-3): Pengaruh Budaya, Pengaruh Sejarah, Hambatan Praktis, Karakteristik Guru, Karakteristik Siswa, dan Proses Belajar. Diantara faktor-faktor tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena saling terkait dan merupakan satu kesatuan dalam belajar dan pembelajaran dalam tujuan tertentu.

Di samping itu, agar aktivitas dalam belajar dan pembelajaran dapat terarah dalam upaya pencapaian tujuan tertentu serta peningkatan potensi siswa, maka belajar dan pembelajaran harus dikembangkan sesuai dengan prinsip-prinsip yang benar, yaitu yang bertolak dari kebutuhan internal siswa untuk belajar. Oleh karena itu, dalam penyusunan makalah ini berusaha memaparkan prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran. Selain itu, juga menjelaskan implementasi dari prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran tersebut.

 

  1. B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebelumnya, rumusan masalah penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran?
  2. Bagaimana implimentasi prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran?

 

  1. C.    Tujuan

Adapun tujuan dalam penyusunan makalah ini adalah:

  1. Untuk menjelaskan tentang prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran.
  2. Untuk menjelaskan implimentasi prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran.

 

 

 

BAB II

PRINSIP-PRINSIP BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

 

            Ada beberapa prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran. Berikut ini adalah prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran menurut Dimyati:

  1. Perhatian dan Motivasi

Perhatian mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar. Dari kajian teori belajar pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tak mungkin terjadi belajar. Sedangkan motivasi adalah tenaga yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang. Motivasi dapat dapat dibandingkan dengan mesin dan kemudi pada mobil (Gage dan Berliner dalam Dimyati, 2010:42).

Motivasi dapat bersifat internal maupun eksternal. Motivasi juga dibedakan atas motif intrinsik dan ekstrinsik. Motif intrinsik adalah tenaga pendorong yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Sedangkan motif ekstrinsik adalah tenaga pendorong yang ada di luar perbuatan yang dilakukannya tetapi menjadi penyertanya. Motif ekstrinsik dapat juga berubah menjadi motif intrinsik yang disebut transformasi motif. Misalnya, seorang siswa dijanjikan sebuah sepeda baru apabila berhasil mendapat rangking satu oleh orangtuanya. Awalnya siswa tersebut merasa itu tidak mungkin, tapi karena terus diberi dorongan oleh orang tua, ia pun berusaha sekuatnya untuk melakukan yang terbaik demi orang tua juga keinginannya untuk punya sepeda baru.

  1. Keaktifan

John Dewey mengemukakan bahwa belajar adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari siswa sendiri. Guru sekadar pembimbing dan pengarah (John Dewey dalam Dimyati, 2010:44).

Menurut teori kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yang sangat aktif, jiwa mengolah informasi yang kita terima, tidak sekadar menyimpannya saja tanpa mengadakan transformasi. Menurut teori ini juga, anak memiliki sift aktif, konstruktif, dan mampu merencanakan sesuatu. Anak mampu untuk mencari, menemukan, dan menggunakan pengetahuannya yang telah diperolehnya.

Thorndike mengemukakan keaktifan siswa dalam belajar dengan hukum “law of exercise”-nya yang menyatakan bahwa belajar memerlukan adanya latihan-latihan. Mc Keachie berkenaan dengan prinsip keaktifan mengemukakan bahwa individu merupakan “manusia belajar yang aktif selalu ingin tahu, sosial” (Dimyati, 2010:45)

Dari ketiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa dituntut untuk aktif dalam suatu pembelajaran. Siswa harus mencari, mengolah dan memahami informasi dalam proses belajar. Selain itu, siswa juga diarahkan untuk selalu melatih diri dengan latihan-latihan ataupun praktek langsung. Dengan begitu, siswa akan lebih cepat mengingat apabila lupa karena siswa itu sendiri yang mengalami secara aktif.

  1. Keterlibatan langsung atau berpengalaman

Edgar Dale dalam penggolongan pengalaman belajar yang dituangkannya dalam kerucut pengalamannya mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung. Dalam belajar pengalaman langsung siswa tidak hanya mengamati secara langsung tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung dalam pembuatan, dan bertanggung jawab terhadap hasilnya. Sebagai contohnya adalah untuk mempelajari tentang drama, guru melibatkan siswa secara langsung, tidak hanya menyajikan materi ataupun contoh drama. Guru dapat membentuk kelompok dan menyuruh siswa untuk menampilkan sebuah drama.

Pentingnya keterlibatan langsung dalam belajar dikemukakan oleh John Dewey dengan “learning by doing”-nya. Belajar sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung. Belajar harus dilakukan siswa secara aktif, baik individual maupun kelompok, dengan cara memecahkan masalah. Guru bertindak sebagai pembimbing dan pengarah (Dimyati, 2010:46).

  1. Pengulangan

Menurut teori Psikologi Daya, belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya mengamat, menanggap, mengingat, mengkhayal, merasakan, berpikir, dan sebagainya. Dengan mengadakan pengulangan maka daya-daya tersebut akan berkembang.

Teori lain yang menekankan prinsip pengulangan adalah Psikologi Asosiasi atau Koneksionisme (Thorndike). Berangkat dari salah satu hukum belajarnya “law of exercise”, ia mengemukakan bahwa belajar ialah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respons benar.

Psikologi Conditioning yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari koneksionisme juga menekankan pentingnya pengulangan dalam belajar. Kalau pada koneksionisme, belajar adalah pembentukan hubungan stimulus dan respons maka pada psikologi conditioning respons akan timbul bukan karena oleh stimulus saja, tetapi juga oleh stimulus yang dikondisikan. Sebagai contoh adalah pengendara jalan raya akan berhenti ketika melihat lampu lalu lintas yang menyala berwarna merah. Ataupun kepatuhan terhadap adat istiadat, norma, yang berlaku dalam masyarakat. Pengulangan terus berlanjut hingga keturunan-keturunan berikutnya.

  1. Tantangan

Teori Medan (Field Theory) dari Kurt Lewin mengemukakan bahwa siswa dalam situasi belajar berada dalam suatu medan atau lapangan psikologis. Dalam situasi belajar siswa menghadapi suatu tujuang yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan yaitu mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hambatan itu yaitu dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila hambatan itu telah diatasi, artinya tujuan belajar tercapai, maka ia akan masuk dalam medan baru dan tujuan yang baru juga, demikian seterusnya.

Penggunaan metode eksperimen, inkuiri, diskoveri juga memberikan tantangan bagi siswa untuk belajar secara lebih giat dan sungguh-sungguh. Penguatan positif maupun negatif juga akan menantang siswa dan menimbulkan motif untuk memperoleh ganjaran atau terhindar dari hukum yang tidak menyenangkan (Dimyati, 2010:48).

  1. Balikan dan Penguatan

Prinsip belajar yang berkaitan dengan balikan dan tantangan terutama ditekankan oleh teori belajar Operant Conditioning dari B.F Skinner. Kalau dalam teori conditioning yang diperkuat adalah stimulusnya, maka pada teori operant conditioning yang diperkuat adalah responsnya. Kunci dari teori ini adalah law of effect-nya Thorndike. Siswa akan belajar lebih bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik. Hasil, apalagi hasil yang baik, akan merupakan balikan yang menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar selanjutnya. Namun dorongan belajar itu menurut B.F Skinner tidak saja penguatan yang menyenangkan tetapi juga yang tidak menyenangkan. Atau dengan kata lain penguatan positif maupun negatif dapat memperkuat belajar (Gage dan Berliner dalam Dimyati, 2010:48).

Format sajian berupa tanya jawab, diskusi, eksperimen, metode penemuan, dan sebagainya merupakan cara belajar-mengajar yang memungkinkan terjadinya balikan dan penguatan. Balikan yang segera diperoleh siswa setelah belajar melalui penggunaan metode-metode ini akan membuat siswa terdorong untuk belajar lebih giat dan bersemangat.

  1. Perbedaan Individual

Siswa merupakan individual yang unik artinya tidak ada dua orang siswa yang sama persis, tiap siswa memiliki perbedaan satu dengan yang lain. Perbedaan itu terdapat pada karakteristik psikis, kepribadian, dan sifat-sifatnya. Perbedaan individual ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa. Karenanya, perbedaan individual perlu diperhatikan oleh guru dalam upaya pembelajaran.

Pembelajaran yang bersifat klasikal yang mengabaikan perbedaan individual dapat diperbaiki dengan beberapa cara. Antara lain penggunaan metode atau strategi belajar-mengajar yang bervariasi sehingga perbedaan-perbedaan kemampuan siswa dapat terlayani. Juga penggunaan media instruksional akan membantu melayani perbedaan-perbedaan siswa dalam cara belajar. Usaha lain untuk memperbaiki pembelajaran klasikal adalah dengan memberikan tambahan pelajaran atau pengayaan pelajaran bagi siswa yang pandai, dan memberikan bimbingan belajar bagi siswa yang kurang. Di samping itu dalam memberikan tugas-tugas hendaknya disesuaikan dengan minat dan kemampuan siswa sehingga bagi siswa yang pandai, sedang, maupun kurang akan merasakan berhasil dalam belajar (Dimyati, 2010:50).

Tidak jauh berbeda dengan Dimyati, menurut Ainurrahman (2012:114-134), prinsip-prinsip belajar adalah sebagai berikut:

  1. Prinsip perhatian dan motivasi
  2. Prinsip transfer dan retensi
  3. Prinsip keaktifan
  4. Prinsip keterlibatan langsung
  5. Prinsip pengulangan
  6. Prinsip tantangan
  7. Prinsip balikan dan penguatan
  8. Prinsip perbedaan individual

Selain prinsip-prinsip tersebut di atas, adapun tiga prinsip lainnya, yaitu: (1) prinsip belajar kognitif, (2) prinsip belajar afektif, dan (3) prinsip belajar psikomotorik (Ainurahman, 2012:134-136). Sedangkan menurut Abdorrakhman Gintings (2010: 5-6), prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran adalah sebagai berikut:

  1. Pembelajaran adalah motivasi dan memberikan fasilitas kepada siswa agar dapat belajar sendiri.
  2. Pepatah Cina mengatakan: “Saya dengar saya lupa, saya lihat saya ingat, dan saya lakukan saya paham”. Mirip dengan itu John Dewey mengembangkan apa yang dikenal dengan “Learning by doing”.
  3. Semakin banyak alat deria atau indera yang diaktifkan dalam kegiatan belajar, semakin banyak informasi yang diserap.
  4. Belajar dalam banyak hal adalah suatu pengalaman. Oleh sebab itu keterlibatan siswa merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan belajar.
  5. Materi akan lebih mudah dikuasai apabila siswa terlibat secara emosional dalam kegiatan belajar pembelajaran. Siswa akan terlibat secara emosional dalam kegiatan belajar pembelajaran jika pelajaran adalah bermakna baginya.
  6. Belajar dipengaruhi oleh  motivasi dari dalam diri (intrinsik) dan dari luar (ekstrinsik) siswa.
  7. Semua manusia, termasuk siswa, ingin dihargai dan dipuji. Penghargaan dan pujian merupakan motivasi intrinsik bagi siswa.
  8. Makna pelajaran bagi diri siswa merupakan motivasi dalam yang kuat sedangkan faktor kejutan (faktor “Aha”) merupakan motivasi luar yang efektif dalam belajar.
  9. Belajar “Is enhanced by Challenge and Inhibited by Threat”.
  10. Setiap otak adalah unik. Karena itu setiap siswa memiliki persamaan dan perbedaan cara terbaik untuk memahami pelajaran.
  11. Otak akan lebih mudah merekam input jika dalam keadaan santai atau rileks daripada dalam keadaan tegang.

Implikasi Prinsip-prinsip Belajar bagi Siswa

  1. Perhatian dan Motivasi

Siswa dituntut untuk memberikan perhatian terhadap rangsangan yang mengarah ke arah pencapaian tujuan belajar. Adanya tuntutan untuk selalu memberikan perhatian ini, menyebabkan siswa harus membangkitkan perhatiannya kepada segala pesan yang dipelajarinya. Pesan-pesan yang menjadi isi pelajaran seringkali dalam bentuk rangsnagan suara, warna, bentuk, gerak dan rangsangan lain yang dapat diindra. Dengan demikian siswa diharapkan selalu melatih indra untuk memperhatikan rangsangan yang muncul dalam proses pembelajaran. Peningkatan atau pengembangan minat ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi (Gage dan Berliner dalam Dimyati, 2010:50-51).

  1. Keaktifan

Siswa dituntut untuk selalu aktif memproses dan mengolah perolehan belajarnya. Untuk dapat memproses dan mengolah secara efektif, siswa dituntut untuk aktif secara fisik, intelektual, dan emosional. Implikasi prinsip ini bagi siswa berwujud perilaku-perilaku seperti mencari sumber informasi yang dibutuhkan, menganalisis hasil percobaan, ingin tahu hasil dari suatu reaksi kimia, membuat karya tulis, membuat kliping, dan perilaku sejenis lainnya.

  1. Keterlibatan Langsung atau Berpengalaman

Hal apapun yang dipelajari siswa, maka ia harus mempelajarinya sendiri. Tidak ada seorang pun dapat melakukan kegiatan belajar tersebut untuknya (Davies dalam Dimyati, 2010:52). Pernyataan ini, secara mutlak menuntut adanya keterlibatan langsung dari setiap siswa dalam kegiatan belajar pembelajaran. Implikasi prinsip ini dituntut pada para siswa agar tidak segan-segan mengerjakan segala tugas belajar yang diberikan kepada mereka. Dengan keterlibatan langsung ini, secara logis akan menyebabkan mereka memperoleh pengalaman atau berpengalaman.

  1. Pengulangan

Penguasaan secara penuh dari setiap langkah memungkinkan belajar secara keseluruhan lebih berarti. Dari penyataan Davies ini, pengulangan diperlukan kegiatan pembelajaran. Implikasi adanya prinsip pengulangan bagi siswa adalah kesadaran siswa untuk bersedia mengerjakan latihan-latihan yang  berulang untuk satu macam permasalahan (Dimyati, 2010:52).

  1. Tantangan

Implikasi prinsip tantangan bagi siswa adalah tuntutan dimilikinya kesadaran pada dirinya akan adanya kebutuhan untuk selalu memperoleh, memproses, dan mengolah pesan. Selain itu, siswa juga harus memiliki keingintahuan yang besar terhadap segala permasalahan yang dihadapinya. Bentuk-bentuk perilaku siswa yang merupakan implikasi dari prinsip ini diantaranya adalah melakukan eksperimen, melaksanakan tugas terbimbing maupun mandiri, atau mencari tahu pemecahan suatu masalah.

  1. Balikan dan Penguatan

Seorang siswa belajar lebih banyak bilamana setiap langkah segera diberikan penguatan (Davies dalam Dimyati, 2010:53). Hal ini timbul karena kesadaran adanya kebutuhan untuk memperoleh balikan dan sekaligus penguatan bagi setiap kegiatan yang dilakukannya. Untuk memperoleh balikan penguatan bentuk-bentuk perilaku siswa yang memungkinkan diantaranya adalah dengan segera mencocokkan jawaban dengan kunci jawaban, menerima kenyataan terhadap skor atau nilai yang dicapai, atau menerima teguran dari guru atau orang tua karena hasil belajar yang jelek.

  1. Perbedaan Individual

Kesadaran bahwa dirinya berbeda dengan siswa lain, akan membantu siswa menentukan cara belajar dan sasaran belajar bagi dirinya sendiri. Implikasi adanya prinsip perbedaan individual bagi siswa adalah menentukan tempat duduk di kelas, menyusun jadwal belajar, atau memilih bahwa implikasi adanya prinsip perbedaan individual bagi siswa dapat berupa perilaku fisik maupun psikis.

 

 

Daftar Rujukan:

Ainurahman. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Dimyati, dan Drs. Mudjiono. 2010. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Gintings, Abdorrakhman. 2010. Esensi Praktis: Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Humaniora.

           

 

Teori Belajar dan Pembelajaran

TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

Oleh: Efilia Agus Anggraini

  1. A.    Pendahuluan

Dunia pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu kunci kesuksesan suatu bangsa atau negara. Kemajuan suatu bangsa dapat juga dinilai dari kemajuan sistem pendidikan yang ada, di samping tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang meliputi tingginya UMR atau gaji masyarakat, banyaknya gedung pencakar langit, dan sebagainya. Pendidikan juga turut berperan dalam memajukan suatu bangsa. Suatu sistem pendidikan dikatakan berhasil, apabila mampu menghasilkan lulusan berkualitas. Pendidikan itu mampu menelurkan sumberdaya manusia yang bermutu.

Di dalam dunia pendidikan, ada banyak teori belajar dan pembelajaran yang berasal dari literatur psikologi. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara pendidikan dengan psikologi. Diantaranya adalah dalam menghadapi masalah-masalah belajar, diperlukan pemecahan solusi yang berdasarkan psikologi. Teori-teori belajar dan pembelajaran tersebut meliputi, teori konstruktivitik, teori behavioristik, teori medan, teori belajar psikologi sosial, dan teori-teori yang lainnya.

Pengetahuan guru terhadap teori-teori tesebut akan sangat berguna dalam pelaksanaan pembelajaran. Selain itu, teori-teori tersebut merupakan pengetahuan awal yang harus diketahui oleh calon guru sebelum terjun dalam dunia pendidikan. Teori belajar dan pembelajaran merupakan bekal guru dalam menyelenggarakan pembelajaran, baik dalam lingkungan formal maupun nonformal sebagai pedoman dalam mencapai tujuan pembelajaran yang dilakukan.

 

  1. B.     Teori Belajar dan Pembelajaran

Berikut ini adalah beberapa teori belajar dan pembelajaran, yakni:

  1. 1.      Teori Koneksionisme

Teori koneksionisme yang dikembangkan oleh Edward Lee Thorndike yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh pakar lainnya menjelaskan bahwa terdapat kesamaan antara proses belajar dalam diri hewan dan manusia. Kesamaan tersebut adalah adanya hubungan atau koneksi atau asosiasi antara kesan yang ditangkap oleh pancaindera atau stimulus (S) dengan perbuatan atau respons (R). Penekanan dalam teori ini adalah hubungan antara stimulus dan respons (Gintings, 2010:19).

Berpegang kepada teori tersebut Thorndike mengajukan tiga hukum dasar tentang perilaku belajar, yaitu:

  1. Hukum Kesiapan (The Law of Readiness)

Hukum ini menjelaskan tentang adanya hubungan antara kesiapan seseorang dalam merespon, menerima atau menolak, terhadap stimulan yang diberikan. Aplikasi hukum ini dalam konteks belajar dan pembelajaran menurut Sudjana (Gintings, 2010:19) adalah bahwa “…pembelajaran dapat berlangsung secara efektif dan efisien apabila peserta didik telah memiliki kesiapan belajar”.

  1. Hukum Latihan (The Law of Exercise)

Hukum ini menjelaskan bahwa hubungan antara perlakuan (S) dan tindakan (R) akan menjadi lebih kuat jika hubungan tersebutdilakukan berulang-ulang, sebaliknya hubungan tersebut akan melemah jika jarang dilakukan. Dalam konteks belajar dan pembelajaran, hukum ini menekankan pentingnta latihan atau pengulangan (drill) dalam menggunakan materi yang sedang dipelajari untuk memperkuat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran tersebut (law of use).

  1. Hukum Akibat (The Law of Effect)

Hukum ini menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respon yang diharapkan akan bertambah kuat dan akan selalu muncul jika memberikan akibat yang menyenangkan kepada diri seseorang. Sebaliknya, hubungan tersebut akan melemah dan jarang muncul jika memberikan akibat yang tidak menyenangkan kepda diri orang tersebut. Akan tetapi, tidak semua pakar pembelajaran setuju dengan pendekatan yang menggunakan hukum akibat. Mereka justru berargumen bahwa hadiah dan hukuman tidak selalu berakibat positif tetapi bisa sebaliknya. Misalnya, siswa yang mendapat nilai baik dan mendapat hadiah justru bersikap menganggap enteng dan terlena, akibatnya terjadi penurunan prestasi.

 

  1. 2.      Teori Classical Conditioning

Teori ini dipelopori oleh Petrovich Pavlov (1927). Berdasarkan hasil percobaan tersebut Pavlov menyimpulkan bahwa proses belajar dalam teori seseorang yang merupakan respon akan berlangsung sebagai akibat dari terjadinya pengasosiasian ganjaran sebagai kondisi dan rangsangan sebagai stimulus yang mendahului ganjaran tersebut(Gintings, 2010:22).

Teori ini kemudian dikembangkan oleh Watson (1970) . Berdasarkan pada hasil percobaannya, Watson menyimpulkan bahwa proses belajar terjadi dalam diri seseorang akibat pengkondisian dengan jalan memberikan rangsangan dan atau pembiasaan. Teori ini dalam belajar dan pembelajaran mengajarkan kepada guru tentang dua hal:

  1. Proses belajar dalam diri siswa tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi memerlukan pengkondisian dalam melalui pemberian rangsangan dan penghargaan serta menyadarkan siswa antara keduanya. Misalnya guru memberikan intermezzo sebelum memulai pelajaran yang isinya mengarah pada materi yang akan dibahas. Dengan kondisi yang demikian, siswa mungkin akan tertarik dan terangsang pada materi. Selanjutnya guru akan memberikan hadiah bagi siswa yang berhasil menjawab dengan tepat dan benar.
  2. Proses belajar dalam diri siswa dapat diinisiasi atau dimunculkan melalui pemberian rangsangan dan pembiasaan. Sebagai contoh, guru selalu mengajukan pertanyaan tentang materi yang telah dipelajari sebelumnya, tiap kali akan memulai pembelajaran. Siswa akan terbiasa dan menyiapkan diri agar bisa menjawab pertanyaan.

 

  1. 3.      Teori Operant Conditioning

Teori ini dikembangkan oleh Skinner yang juga didasarkan pada teori S-R dari Thorndike. Skinner menyimpulkan bahwa terdapat dua macam respons yang berbeda yaitu respondent response atau reflexive response dan operants response atau instrumental response (Sanjaya dalam Gintings, 2010:24).

  1. Respondent Response atau reflexive response adalah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh teori S-R yaitu respons tertentu yang ditimbulkan oleh stimulus tertentu. Artinya, hubungan antara stimulus dan respons bersifat sangat terbatas dan hampir sudah terpola. Oleh sebab itu, responden respons sangat kecil kemungkinannya untuk dimodifikasi.
  2. Operant Response atau instrumental response adalah respon yang timbulnya diikuti oleh munculnya perangsangan-perangsangan lain atau reinforcing stimuli  atau reinforcer. Reinforcer ini kemudian akan memperkuat response reflexive yang dilakukan oleh organisasi. Dengan kata lain, reinforcer menyebabkan terjadinya multipler effect atau efek rentetan dalam diri seseorang. Karena sifatnya yang demikian, maka mungkin saja perilaku dapat dimodifikasi dengan menggunakan operant atau instrumental response.

Contoh sederhana dalam proses pembelajaran adalah ketika siswa mengikuti pelajaran matematika. Apabila siswa tersebut mampu mengerjakan soal dengan benar, siswa akan cenderung berlatih mengerjakan soal lainnya yang tingkatannya lebih sulit.

  1. 4.      Teori Gestalt

Teori Gestalt atau teori bentuk yang dikembangkan diantaranya oleh Max Wertheimer, seorang psikolog Jerman, Koffka, dan Kohler. Inti dari teori gestalt yang dirangkum dari berbagai sumber (Gintings, 2010:25-26) sebagai berikut:

  1. Jika aliran teori behavioristik yang memandang belajar sebagai perilaku mekanistis tanpa adanya peran insight, teori gestalt yang merupakan kelompok aliran kognitif holistik memandang belajar adalah proses mengembangkan insight atau memahami hubungan antar unsur dalam suatu masalah. Insight yang diperoleh dari pemecahan masalah tertentu satu saat kelak dapat digunakan untuk memecahkan masalah dalam situasi lain.
  2. Masalah yang dihadapi oleh seseorang akan menimbulkan ketidakseimbangan kognisi dan orang itu akan berusaha memecahkan masalah tersebut guna mencapai kembali keseimbangan kognisi. Dalam konteks ini masalah berfungsi sebagai stimulus untuk menemukan pemecahan masalah. Jadi eblajar bukan sekadar menghafal fakta, tetapi memanfaatkan insight untuk memecahkan masalah.
  3. Belajar didasarkan pada pengalaman atau pengorganisasian kembali pengalaman-pengalaman masa lalu yang secara terus-menerus disempurnakan. Oleh sebab itu pengalaman dapat memberikan arti dalam kehidupan seseorang. Berpegang kepada prinsip ini, maka salah satu peran guru dalam pembelajaran adalah menciptakan tantangan-tantangan agar siswa memperoleh pengalaman baru dan berharga dari proses belajarnya.
  4. Berdasarkan hasil penelitiannya Max Wertheimer merekomendasikan lima hukum yang saling terkait, yaitu:
    1. Hukum Pragmanz

Pengamatan terhadap suatu obyek dikaitkan dengan sesuatu yang berarti dilihat dari susunan, bentuk, ukuran, warna, dan lain sebagainya. Contohnya, sesuatu yang berwarna kuning, atau keemasan, atau mungkin bercahaya dan memiliki bentuk lima sudut disebut bintang.

  1. Hukum Kesamaan (Law of Similiary)

Orang cenderung mengelompokkan gejala berdasarkan kesamaannya bukan perbedaannya. Misalnya, orang akan mengelompokkan tumbuhan berdasarkan jumlah keping biji ataupun batangnya.

  1. Hukum Keterdekatan (Law of Proximary)

Orang cenderung mengelompokkan gejala berdasarkan keterdekatannya dari pada kerenggangannya. Misalnya, siswa yang ditunjuk untuk mengerjakan soal di depan, apabila diminta untuk memilih salah satu temannya untuk mengerjakan soal lebih memilih teman dekat dari pada teman lainnya.

  1. Hukum Kontinyuasi (Law of Continuation)

Obyek dilihat sebagai totalitas atau keseluruhan bukan bagian per bagian. Contohnya, ketika kita melihat sebuah gunung, kita hanya melihat gunungnya saja. Akan tetapi juga pemandangan disekitarnya, bahkan jika ada, akan melihat danaunya juga.

  1. Hukum Ketertutupan (Law of Closure)

Dalam mengamati suatu obyek atau gejala, orang cenderung untuk menutupi atau melengkapi bagian-bagian yang kurang agar menjadi utuh. Misalnya, seorang siswa akan berusaha untuk mencari tau tentang materi yang belum dipahaminya agar dia memperoleh pemahaman yang utuh.

 

  1. 5.      Teori Medan

Teori medan diawali pengembangannya oleh Kurt Lewin dalam bentuk rumus berikut (Gintings, 2010:27):

B=f (P,E), dibaca B adalah sebagai fungsi dari P dan E. Dengan ketentuan:

B adalah behavior atau perilaku sebagai hasil belajar.

P adalah person atau individu.

E adalah environment atau lingkungan atau medan.

Jadi menurutnya, hasil belajar ditentukan oleh individu dan lingkungan. Selanjutnya untuk menganalisis pengaruh lingkungan Lewin mengembangkan teknik FFA (Force Field Analysis) atau Analisis Kekuatan Medan. Dengan teknik ini kekuatan-kekuatan medan dibedakan atas kekuatan pendorong (D) dan kekuatan penghambat (H). Untuk mencapai kemajuan atau perubahan perilaku ke tingkat tertentu yang diinginkan, maka strategi pembelajaran yang harus dilakukan adalah memperkuat medan pendorong dan memperlemah medan penghambat (Gintings, 2010:27).

Selain itu, bahasan yang perlu dikemukakan tentang teori medan adalah bahwa medan yang dikembangkan oleh Lewin memiliki kesamaan dengan teori gestalt yaitu menganggap bahwa belajar adalah pemecahan masalah. Menurut Lewin, ada dua hal yang terkait dengan pemecahan masalah sebagai proses belajar (Sanjaya dalam Gintings, 2010:28) yaitu:

  1. Belajar adalah perubahan struktur kognitif. Setiap orang dapat memecahkan masalah jika bisa mengubah struktur kognitifnya sesuai dengan masalah yang dihadapinya.
  2. Motivasi adalah faktor pendorong belajar. Ketertarikan kepada sesuatu dapat menjadi motivasi bagi seseorang untuk melakukan tindakan.

 

  1. 6.      Teori Humanistik

Beberapa pandangan teori humantistik tentang belajar dan pembelajaran adalah sebagaimana dirangkum berikut ini (Gintings, 2010:29):

  1. Siswa akan mempersepsi pengalaman belajarnya sesuai dengan kebutuhan belajarnya serta menginternalisasi pengalaman tersebut ke dalam dirinya secara aktif. Oleh sebab itu, salah satu peran guru adalah membantu tumbuhnya pengalaman-pengalaman baru yang dirasakan manfaatnya bagi kehidupan siswa dan lingkungannya.
  2. Pendekatan belajar dan pembelajaran teori humanistik adalah berpusat kepada ssiwa atau “learner centered” yang diterapkan dengan menggunakan prinsip-prinsip “self determination” dan “self-directions”. Untuk itu pembelajaran dilakukan dengan memberikan kebebasan kepada siswa untuk menentukan sendiri apa yang ingin dipelajari sesuai dengan ketersediaan sumber-sumber belajar. Dalam konteksi ini guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator.
  3. Perilaku adalah perwujudan diri, oleh karena itu belajar dan pembelajaran berfungsi sebagai sarana dan prasarana bagi siswa untuk mengembangkan dirinya sendiri menjadi manusia yang mandiri.
  4. Teori ini menekankan pentingnya peran motivasi dalam diri siswa dalam belajar. Salah satu dari tokoh yang mengembangkan teori ini yaitu Abraham Maslow mengemukakan hirarki motivasi yang didasarkan pada tingkat dan jenis kebutuhan manusia, yaitu: kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosiologis, kebutuhan  akan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri.
  5. 7.      Teori Konstruktivistik

Teori ini dikembangkan oleh J. Piaget. Teori ini memandang bahwa setiap inividu memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dengan jalan berinteraksi secara terus-menerus dengan lingkungannya. Pandangan ini berimplikasi menolak bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang dapat ditransfer. Oleh karena itu, penganut teori ini memandang upaya mentransfer pengetahuan adalah pekerjaan yang sia-sia. Implikasi praktis teori ini (Sudjana dalam Gintings, 2010:30) yaitu bahwa dalam pembelajaran harus disediakan bahan ajar yang secara konkrit terkait dengan kehidupan nyata dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi secara aktif dengan lingkungannya.

 

Selain teori-teori belajar dan pembelajaran di atas, adapun teori-teori belajar menurut Aunurrahman, adalah sebagai berikut:

  1. 1.      Behaviorisme

                  Behaviorisme menekankan pada apa yang dapat dilihat, yaitu tingkah laku, dan kurang memperhatikan apa yang terjadi di dalam pikiran karena tidak dapat dilihat (Ainurahman, 2012:39). Artinya, segala sesuatu yang terjadi di alam pikiran siswa terlepas dari pengamatan guru. Akan tetapi, semua tingkah laku, sikap siswa, merupakan hal yang menjadi sorotan utama guru. Singkatnya, sikap siswa dalam kehidupan sehari-hari diartikan sebagai produk dari penerapan teori ini. Misalnya, siswa yang terkenal membuat gaduh di kelas atau malas mengerjakan tugas. Segala tingkah lakunya akan menjadi sorotan tiap guru yang mengajar. Guru berkewajiban memberikan stimulus-stimulus yang akan direspon siswa. Sehingga siswa tersebut dengan sendirinya akan menunjukan perubahan tingkah laku yang lebih baik. Hal inilah yang menjadi ciri mendasar dari teori behaviorisme, yaitu perubahan tingkah laku yang terjadi berdasarkan paradigm S-R (Stimulus Respons), yaitu suatu proses yang memberikan respons tertentu terhadap sesuatu yang datang dari luar. Proses S-R ini terdiri dari beberapa unsur dorongan, yaitu:

a)      Seseorang merasakan adanya kebutuhan akan sesuatu dan dorongan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Motivasi sangat diperlukan untuk menumbuhkan sikap ‘merasa butuh’ akan sesuatu dalam diri siswa. Guru dapat memberikan motivasi di awal pertemuan kelas dengan tujuan untuk mendapat perhatian siswa ketika proses belajar mengajar berlangsung.

b)      Rangsangan atau stimulus

Rangsangan merupakan unsur penting. Seyogyanya, seorang guru mampu memberikan rangsangan-rangsangan terhadap siswanya agar kegiatan belajar tidak pasif. Bisa dibayangkan, jika hanya guru sendiri yang menjelaskan materi pelajaran tanpa melibatkan siswa, siswa akan cenderung mengabaikan apa yang sedang dipelajari.

c)      Respons

Apabila guru telah memberikan rangsangan, siswa akan berusaha untuk memberikan respons terhadap rangsangan tersebut.

d)     Unsur penguatan atau reinforcement

Respons yang diberikan siswa dapat benar atau pun salah. Apabila respons yang diberikan benar, maka perlu adanya penguatan untuk memantapkan pemahaman siswa. Dan apabila respons tersebut salah, maka guru berkewajiban meluruskannya sekaligus memberikan penguatan pada siswa.

Beberapa macam teori behaviorisme menurut Thordike (Ainurahman, 2012:40), diantaranya:

1)      Classical conditioning

Teori ini didasarkan atas reaksi sistem tak terkontrol di dalam diri seseorang dan reaksi emosional yang dikontrol oleh sistem urat syaraf otonom serta gerak reflex setelah menerima stimulus dari luar.

2)      Operant Conditioning Skiner

Menurut teori ini, setiap kali memperoleh stimulus maka seseorang akan memberikan respons berdasarkan hubungan S-R. Respons yang diberikan ini dapat sesuai “R” (benar) atau tidak sesuai “F” (salah) seperti apa yang diharapkan.

 

  1. 2.      Kognitivisme

                  Menurut teori belajar ini tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi atau pemahamannya terntang situasi yang berhubungan dengan tujuan-tujuannya. Karena itu belajar menurut kognitivisme diartika sebagai perubahan persepsi dan pemahaman (Ainurahman, 2012: 44). Sehingga persepsi atau pemahaman antara siswa yang satu dengan yang lainnya belum tentu sama. Sebagai contoh, ketika siswa melihat sebuah raket. Jika siswa itu sedang pelajaran penjaskes, maka siswa itu akan menggunakan raket untuk bermain bulu tangkis. Lain halnya dengan ssiwa yang sedang dikejar anjing. Bisa saja siswa itu akan menggunakan raket untuk memukul anjing agar menjauh.

                  Teori kognitivisme lebih menekankan kebermaknaan keseluruhan sesuatu dari pada bagian-bagian, sehingga belajar dipandang sebagai proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan faktor-faktor lain. Menurut Piaget (Ainurahman, 2012:40), perkembangan intelektual melalui empat tahap-tahap berikut:

  1. Tahap sensori motor (0,0-2,0 tahun)

Pada tahap ini anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik dan motorik. Bahasa anak pun lebih dipengaruhi dengan apa yang anak lihat, dengar, gerakannya, atau penciumannya. Sehingga bukan hal aneh, jika anak berusia 1-2 tahun menyebut kereta api dengan jujes-jujes, karena bunyi kereta seperti itu.

  1. Tahap pra-operasional (2,0-7,0 tahun)

Tahap dimana anak mengandalkan diri pada persepsi tentang realitas. Pada tahap ini anak telah mampu mengunakan simbol, bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi, membuat gambar, dan mengolong-golongkannya. Misalnya, ketika anak berusia 2-7 tahun diberi pensil, ia tidak lagi akan memasukan pensil itu ke mulutnya, tapi anak telah mampu menggunakannya untuk mencoret-coret.

  1. Tahp operasional konkret (1,0-11,0)

Pada tahap ini, anak dapat mengembangkan pikiran logisnya. Ia dapat mengikuti penalaran logis, walau kadang-kadang memecahkan masalah secara “trial and eror”.

  1. Tahap operasional formal (11,0-keatas)

Tahap ini merupakan tahap dimana anak dapat berpikir abstrak seperti pada orang dewasa. Di usia 11 tahun ke atas, anak juga akan mengalami masa pubertas sehingga pemikirannya masih labil dan cenderung egois.

 

  1. 3.      Teori Belajar Psikologi Sosial

                  Menurut teori ini, proses belajar jarang sekali dilakukan dalam keadaan menyendiri, akan tetapi melalui interaksi-interaksi atau dilakukan secara berkelompok. Interaksi tersebut dapat searah atau dua arah. Di dalam suasana kelompok belajar akan terlihat adanya persaingan dan kerjasama, kebebasan atau perasaan terkekang, nilai-nilai yang dianut kelompok akan memberikan pengaruh besar terhadap keberhasilan maupun kepuasan orang yang belajar.

                  Setiap orang mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan tujuan yang menjadi motivasi penting untuk proses belajar. Karena itu siswa harus diberi kesempatan untuk memilih sendiri apa yang akan dipelajarinya, dan kapan ia akan mempelajari. Di beberapa negara, teori belajar ini sepertinya mulai berkembang. Indonesia pun sama. Dibeberapa sekolah di Indonesia telah menggunakan teori ini. Dimana siswa lah yang menentukan pokok bahasan bahkan menyusun silabus tentunya masih dibawah pengawasan guru dan disesuaikan dengan tingkatan kelas.

                  Apabila berbicara lebih jauh tentang teori belajar ini, teori ini memiliki kesamaan dengan pendekatan dalam pengajaran bahasa, Community Language Learning (CLL) oleh Charles A. Curran. CLL tumbuh dari suatu ide untuk menerapkan konsep psikoterapi dalam pengajaran bahasa. Kesamaannya dengan teori belajar psikologi sosial adalah keduanya sama-sama mebrikan kesempatan kepada siswa untuk memilih topik apa saja yang akan dipelajari. Selain itu, siswa  juga dibagi menjadi kelompok–kelompok untuk berinteraksi dalam memecahakan suatu masalah dalam mempelajari suatu topik.

 

  1. 4.      Teori Belajar Gagne

                  Teori belajar Gagne merupakan perpaduan yang seimbang antara behavirosme dan kognitivisme yang memiliki kelebihan serta kekurangan, yang berpangkal pada teori pengolahan informasi. Gagne (Ainurahman, 2012:47) menyimpulkan ada lima macam hasil belajar, yaitu:

  1. Keterampilan intelektual, atau pengetahuan prosedural yang mencakup belajar konsep, prinsip dan pemecahan masalah yang diperoleh melalui penyajian materi di sekolah. Saat ini, banyak sekolah yang menerapkan sistem presentasi dan diskusi. Dimana siswa dituntut untuk menyiapkan materi yang akan dipelajari lalu mempresentasikannya. Siswa diharuskan mempelajari konsep, prinsip, dan menemukan penyelesaian dalam masalah yang ada, baik atas petunjuk ataupun tanpa petunjuk pendidik. Dengan demikian, siswa lebih aktif dalam proses belajar dan dipaksa untuk meningkatkan keterampilan intelektualnya.
  2. Strategi kognitif, yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah baru dengan jalan mengatur proses internal masing-masing individu dalam memperhatikan, belajar, mengingat, dan berpikir. Dalam hal ini, secara pribadi siswa memotivasi diri untuk memecahkan masalah melalui berbagai cara atau strategi. Misalnya dengan mengingat kembali pengetahuan yang telah ada dalam diri mereka masing-masing. Singkatnya, tingkah laku siswa ditentukan oleh persepsi atau pemahamannya dalam belajar, mengingat, berpikir, yang berhubungan dengan tujuan-tujuannya (untuk memecahkan masalah).
  3. Informasi verbal, yaitu kemampuan untuk mendeskripsikan sesuatu dengan kata-kata dengan jalan mengatur informasi-informasi relevan. Dalam kurikulum 2013, siswa dituntut untuk mencari, mengolah, dan memahami informasi-informasi menggunakan kata-kata sesuai dengan pemahaman siswa. Siswa mendeskripsikan informasi-informasi tersebut melalui  bahasa mereka sendiri. Tidak jarang, pendidik sengaja menugaskan siswa untuk membuat ringkasan materi yang telah dipelajari berdasarkan pemahaman mereka dengan bahasa mereka sendiri.
  4. Keterampilan motorik, yaitu kemampuan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan gerakan-gerakan yang berhubungan dengan otot.  Artinya, selain siswa aktif menggunakan kemampuan intelektualnya, siswa juga mampu mempraktikan teori-teori yang diperoleh melalui gerakan-gerakan yang berhubungan dengan otot. Inilah yang menunjukan keterkaitan teori behaviorisme dalam teori Gagne. Teori behaviorisme menekankan pada apa yang dapat dilihat, yaitu tingkah laku siswa. Misalnya, setelah memperoleh teori tentang cara merakit mesin elektro, siswa akan diajak pendidik untuk menerapkan teori-teori tersebut secara nyata di lapangan.
  5. Sikap, yaitu kemampuan internal yang mempengaruhi tingkah laku seseorang yang didasari oleh emosi, kepercayaan-kepercayaan serta faktor intelektual. Hal ini berkaitan dengan pendidikan karakter dalam proses belajar. Pendidikan karakter membina kemampuan intelektual juga karakter siswa. Di sini siswa memperoleh pengajaran dalam mengembangkan kemampuan yang berhubungan dengan karakter masing-masing siswa. Siswa juga akan diberi keleluasaan untuk memilih sendiri ekstrakulikuler yang sesuai dengan karakternya.

               Lebih jauh menurut Gagne (Ainurahman, 2012:47), belajar tidak merupakan sesuatu yang terjadi secara alamiah, akan tetapi hanya akan terjadi dengan adanya kondisi-kondisi tertentu, yaitu:  (a) kondisi internal, antara lain menyangkut kesiapan siswa dan sesuatu yang telah dipelajari, (b) kondisi eksternal, merupakan situasi belajar yang secara sengaja diatur oleh pendidik dengan tujuan memperlancar proses belajar. Tiap-tiap jenis hasil belajar yang dikemukakan sebelumnya memerlukan kondisi-kondisi tertentu yang perlu diatur dan dikontrol.

 

Rangkuman

Berikut ini adalah beberapa teori belajar dan pembelajaran, yakni:

  1. 1.      Teori Koneksionisme : Teori koneksionisme yang dikembangkan oleh Edward Lee Thorndike yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh pakar lainnya menjelaskan bahwa terdapat kesamaan antara proses belajar dalam diri hewan dan manusia. Kesamaan tersebut adalah adanya hubungan atau koneksi atau asosiasi antara kesan yang ditangkap oleh pancaindera atau stimulus (S) dengan perbuatan atau respons (R).
  2. 2.      Teori Classical Conditioning: Teori ini dipelopori oleh Petrovich Pavlov (1927). Berdasarkan hasil percobaan tersebut Pavlov menyimpulkan bahwa proses belajar dalam teori seseorang yang merupakan respon akan berlangsung sebagai akibat dari terjadinya pengasosiasian ganjaran sebagai kondisi dan rangsangan sebagai stimulus yang mendahului ganjaran tersebut.
  3. 3.      Teori Operant Conditioning: Teori ini dikembangkan oleh Skinner yang juga didasarkan pada teori S-R dari Thorndike. Skinner menyimpulkan bahwa terdapat dua macam respons yang berbeda yaitu respondent response atau reflexive response dan operants response atau instrumental response.
  4. 4.      Teori Gestalt: Teori gestalt yang merupakan kelompok aliran kognitif holistik memandang belajar adalah proses mengembangkan insight atau memahami hubungan antar unsur dalam suatu masalah. Insight yang diperoleh dari pemecahan masalah tertentu satu saat kelak dapat digunakan untuk memecahkan masalah dalam situasi lain.
  5. 5.      Teori Medan: Menurutnya, hasil belajar ditentukan oleh individu dan lingkungan. Selanjutnya untuk menganalisis pengaruh lingkungan Lewin mengembangkan teknik FFA (Force Field Analysis) atau Analisis Kekuatan Medan.
  6. 6.      Teori Humanistik: Pendekatan belajar dan pembelajaran teori humanistik adalah berpusat kepada ssiwa atau “learner centered” yang diterapkan dengan menggunakan prinsip-prinsip “self determination” dan “self-directions”.
  7. 7.      Teori Konstruktivistik: Teori ini dikembangkan oleh J. Piaget. Teori ini memandang bahwa setiap inividu memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dengan jalan berinteraksi secara terus-menerus dengan lingkungannya.

Selain teori-teori belajar dan pembelajaran di atas, adapun teori-teori belajar menurut Aunurrahman, adalah sebagai berikut:

  1. 1.      Behaviorisme: Behaviorisme menekankan pada apa yang dapat dilihat, yaitu tingkah laku, dan kurang memperhatikan apa yang terjadi di dalam pikiran karena tidak dapat dilihat.
  2. 2.      Kognitivisme: Menurut teori belajar ini tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi atau pemahamannya terntang situasi yang berhubungan dengan tujuan-tujuannya. Karena itu belajar menurut kognitivisme diartika sebagai perubahan persepsi dan pemahaman.
  3. 3.      Teori Belajar Psikologi Sosial: Menurut teori ini, proses belajar jarang sekali dilakukan dalam keadaan menyendiri, akan tetapi melalui interaksi-interaksi atau dilakukan secara berkelompok. Interaksi tersebut dapat searah atau dua arah.
  4. 4.      Teori Belajar Gagne: Teori belajar Gagne merupakan perpaduan yang seimbang antara behavirosme dan kognitivisme yang memiliki kelebihan serta kekurangan, yang berpangkal pada teori pengolahan informasi.


 

SOAL:

  1. Bagaimana teori belajar dan pembelajaran menurut Piaget? Jelaskan!
  2. Sebutkan tiga hukum dasar tentang perilaku belajar menurut Thorndike?
  3. Apa yang anda ketahui tentang teori classical conditional dan operant conditional? Jelaskan!
  4. Menurut pendapat anda, teori belajar mana yang sesuai untuk pembelajaran kurikulum 2013? Jelaskan disertai bukti!
  5. Jelaskan perbedaan antara teori behavioristik dan teori gestalt!
  6. Buatlah contoh penerapan teori konstruktivistik yang dipadukan dengan teori behavioristik dalam pembelajaran Bahasa Indonesia!
  7. Menurut teori medan, hasil belajar ditentukan oleh individu dan lingkungan. Jelaskan!
  8. Pendekatan belajar dan pembelajaran teori humanistik adalah berpusat kepada ssiwa atau “learner centered” yang diterapkan dengan menggunakan prinsip-prinsip “self determination” dan “self-directions”. Jelaskan prinsip-prinsip self determination dan self directions dalam teori humanistik!
  9. Menurut teori belajar psikologi sosial, proses belajar jarang sekali dilakukan dalam keadaan menyendiri, akan tetapi melalui interaksi-interaksi atau dilakukan secara berkelompok. Interaksi tersebut dapat searah atau dua arah. Jelaskan beserta contoh dari interaksi searah dan interaksi dua arah!
  10. Teori belajar Gagne merupakan perpaduan yang seimbang antara behaviorisme dan kognitivisme yang memiliki kelebihan serta kekurangan, yang berpangkal pada teori pengolahan informasi. Mengapa teori Gagne disebut sebagai teori yang seimbang antara behaviorisme dan kognitivisme? Serta sebutkan kelebihan dan kelemahan teori belajar Gagne!

 

 

  1.  

 

 

Daftar Rujukan

Gintings, Abdorrakhman. 2010. Esensi Praktis: Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Humaniora.

Ainurahman. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/20/teori-belajar-konstruktivisme/).

 

Pendekatan dan Strategi belajar dan pembelajaran

Pendekatan dan Strategi Dalam Pembelajaran

Oleh: Efilia Agus Anggraini

  1. A.    Pendahuluan

Segala sesuatu untuk mencapai suatu tujuan memerlukan persiapan tertentu. Persiapan itu dapat berupa pendekatan, metode, teknik, model dan strategi.  Misalnya untuk menamatkan sebuah permainan game, yang dibutuhkan bukanlah hanya keterampilan atau pun kemampuan bermain game. Seseorang membutuhkan pendekatan untuk menganalisis game seperti apa yang akan ia tamatkan. Artinya, harus ada pengenalan terlebih dahulu. Kemudian, seseorang akan mulai memikirkan teknik, model, metode, dan strategi tertentu untuk memenangkan game sekaligus memecahkan rasa penasarannya akan game tersebut.

Dalam pembelajaran di sekolah, formal ataupun nonformal, seorang guru perlu mempersiapkan dan kesiapan sebelum memulai suatu pembelajaran. Sama halnya dengan contoh di atas, seorang guru memerlukan pendekatan, model, teknik, metode, serta strategi tertentu yang tepat digunakan dalam pembelajaran. Hal bertujuan untuk tercapainya tujuan pembelajaran, atau setidaknya mendekati tujuan yang hendak dicapai dalam belajar dan pembelajaran.

Pada dasarnya, antara pendekatan, strategi, model, metode, dan teknik bukanlah sesuatu yang sama atau bisa disamakan. Masing-masing mempunyai pengertian dan ciri-cirinya sendiri. Sebagai guru profesional, sudah semestinya mengetahui perbedaan diantaranya agar dapat menyusun rancangan pembelajaran yang tepat bagi siswa. Meskipun dalam praktiknya, tanpa disadari atau disadari, guru menggunakan suatu strategi tertentu dalam pembelajarannya. khususnya, dalam menghadapi bermacam-macam siswa dengan keunikannya masing-masing.  Selain itu, guru akan menggunakan pendekatan dan strategi yang berbeda pada saat mengajar dalam komunitas atau pun lingkungan kelas yang berbeda. Singkatnya, berbeda kelas, maka guru akan menggunakan pendekatan dan strategi yang berbeda pula.  Sesuai dengan kemampuan siswa yang dibelajarkan.

 

 

 

 

 

 

  1. B.     Pengertian
    1. 1.      Pendekatan

Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekspositori. Sedangkan, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran discovery dan inkuiri serta strategi pembelajaran induktif  (Sanjaya,  2008:127).

  1. 2.      Metode

Metode merupakan jabaran dari pendekatan. Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam berbagai metode. Metode  adalah prosedur pembelajaran yang difokuskan ke pencapaian tujuan. Teknik dan taktik mengajar merupakan penjabaran dari metode pembelajaran.

  1. 3.      Teknik

Teknik adalah cara yang dilakukan seseorang dalam rangka mengimplementasikan suatu metode.Misalnya, cara yang bagaimana yang harus dilakukan agar metode ceramah yang dilakukan berjalan efektif dan efisien? Dengan demikian sebelum seorang melakukan proses ceramah sebaiknya memperhatikan kondisi dan situasi.

  1. 4.      Model

Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru di kelas. Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi siswa dengan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.Nah, berikut ini ulasan singkat tentang perbedaan istilah tersebut.

  1. 5.      Strategi

Strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didisain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (J.R. David dalam  Sanjaya, 2008:126).  Selanjutnya dijelaskan strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien (Kemp dalam Sanjaya, 2008:126). 

 

  1. 1.      Pendekatan Sistem Pembelajaran

Pendekatan sistem yang diterapkan dalam pembelajaran bukan saja sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga sesuai dengan perkembangan dalam psikologi belajar sistemik, yang dilandasi oleh prinsip-prinsip psikologi behavioristik dan humanistik, serta kenyataan dalam masyarakat sendiri.

  1. Aspek-Aspek Pendekatan Sistem Pembelajaran

Ada dua aspek, yakni:

  1. Aspek fisiologi

Aspek fisiologi ialah pandangan hidup yang melandasi sikap si perancang sistem yang terarah pada kenyataan. Inti dari suatu sistem fisiologi ialah suatu keseluruhan yang terdiri dari sejumlah komponen yang saling berinteraksi dan saling bergantung satu dengan yang lainnya.

  1. Aspek proses

Aspek proses ialah suatu proses dan suatu perangkat alat konseptual. Suatu perangkat alat atau teknik dalam pendekatan sistem ialah berupa kemampuan-kemampuan merumuskan tujuan secara operasional, mengembangkan deskripsi tugas-tugas secara lengkap dan akurat, dan melaksanakan analisis tugas-tugas (Hamalik, 2011:125-126).

  1. Ciri-ciri Pendekatan Sistem Pembelajaran

Ada dua ciri-ciri utama pendekatan sistem pembelajaran, yaitu:

  1. Pendekatan sistem sebagai suatu pandangan tertentu mengenai proses pembelajaran di mana berlangsung kegiatan belajar mengajar, terjadinya interaksi antara siswa dan guru, dan memberikan kemudahan bagi siswa untuk belajar secara efektif.
  2. Penggunaan metodologi untuk merancang sistem pembelajaran, yang meliputi prosedur perencanaan, perancangan, pelaksanaan, dan penilaian keseluruhan proses pembelajaran, yang tertuju ke pencapaian tujuan pembelajaran tertentu (konsep, prinsip, keterampilan, sikap dan nilai, kreativitas, dan sebagainya). Dengan metodelogi ini akan dihasilkan suatu sistem pembelajaran yang memanfaatkan sumber-sumber manusiawi dan non manusiawi secara efisien dan efektif (Hamalik, 2011:126).
  3. Pola Pendekatan Sistem Pembelajaran

Pendekatan sistem pembelajaran disajikan dalam bentuk bagan arus (flow chart). Pada bagan tersebut digambarkan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam sistem, yakni:

  1. Identifikasi kebutuhan pendidikan dan pelatihan (merumuskan masalah)
  2. Analisis kebutuhan untuk mentransformasikannya menjadi tujuan-tujuan pembelajaran (analisis masalah)
  3. Merancang metode dan materi pembelajaran (pengembangan suatu pemecahan)
  4. Pelaksanaan pembelajaran (eksperimental)
  5. Menilai dan merevisi.

Meskipun pola bagan terlihat bersifat linear, namun sesungguhnya pemecahan masalah tersebut merupakan lompatan-lompatan ke depan berdasarkan pemahaman seketika dan umpan balik untuk mengubah atau memperbaiki langkah-langkah sebelumnya.

  1. 2.      Model Pembelajaran Berdasarkan Teori-Teori Belajar
  2. a.      Model Interaksi Sosial (social interaction model)

Model ini berdasarkan teori belajar Gestalt. Model ini menekankan pada hubungan antar individu dengan masyarakat atau dengan individu lainnya. Tekanannya pada proses realita atau kenyataan. Selain itu, model ini berorientasi pada prioritas terhadap perbaikan kemampuan (abilitas) individual untuk berhubungan dengan orang lain, perbaikan proses-proses demokratis dan perbaikan masyarakat. Dalam model ini tercakup beberapa jenis strategi pembelajaran sebagai berikut:

  1. Kerja kelompok

Untuk membina hubungan antar individu atau siswa dengan individu lainnya. Sehingga siswa tersebut mampu mengambil bagian dalam kelompok maupun ikut berperan serta di dalamnya.

  1. Pertemuan kelas

Untuk mengembangkan pemahaman mengenai diri sendiri dan tanggung jawab, baik bagi diri sendiri atau kelompok. Pertemuan kelas juga dapat dimanfaatkan untuk mendiskusikan suatu permasalahan.

  1. Pemecahan masalah sosial

Untuk memecahkan masalah-masalah sosial dengan cara berpikir logis dan penemuan akademik. Siswa dapat salin share masalah untuk diselesaikan dengan sesama anggota kelompok. Karna pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial.

  1. Model laboratorium

Untuk mengembangkan kesadaran pribadi dan keluwesan dalam kelompok.

  1. Model pengajaran yurisprudensi

Untuk melatih kemampuan mengolah informasi dan memecahkan masalah sosial dengan cara berpikir yurisprodensi.

  1. Bermain peranan

Untuk memberikan kesempatan pada siswa mengembangkan diri melalui situasi tiruan.

  1. Simulasi sosial

Untuk membantu siswa mengalami berbagai kenyataan sosial serta menguji reaksi mereka dengan situasi yang sudah dikondisikan.

  1. b.      Model Proses Informasi (Informasi Processing Models)

Model ini berdasarkan teori belajar kognitif yang berorientasi pada kemampuan siswa memproses informasi dan sistem-sistem yang dapat memperbaiki kemampuan tersebut. Di sampin itu, model ini berkenaan dengan kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan berpikir produktif, serta berkenaan dengan kemampuan intelektual umum (general intelectual ability). Model proses informasi meliputi beberapa strategi pembelajaran, yaitu:

  1. Mengajar induktif

Untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan membentuk teori.

  1. Latihan inquiry

Untuk mencari dan menemukan informasi yang diperlukan.

  1. Inquiry keilmuan

Untuk mengajarkan sistem penelitian dalam disiplin ilmu dan diharapkan memperoleh pengalaman dalam domein-domein lainnya.

  1. Pembentukan konsep

Untuk mengembangkan kemampuan berpikir induktif, mengembangkan konsep dan kemampuan analisis.

  1. Model pengembangan

Untuk mengembangkan inteligensi.

  1. Advanced organizer model

Untuk mengembangkan kemampuan memproses informasi yang efisien untuk menyerap dan meghubungkan satuan ilmu pengetahuan secara bermakna (Hamalik, 2011:129)

  1. c.       Model Personal (Personal Models)

Model pembelajaran ini berdasarkan pandangan dari teori belajar Humanistik. Sesuai dengan namanya, model ini berorientasi pada individu dan pengembangan diri. Perhatiannya terutama tertuju pada kehidupan emosional perorangan, yang diharapkan membantu individu untuk mengembangkan hubungan yang produktif dengan lingkungannya, dan menjadikannya sebagai pribadi yang mampu membentuk hubungan dengan pribadi lain serta mampu memproses informasi secara efektif. Sehingga sasaran utamanya adalah pengembangan pribadi atau kemampuan pribadi. Strategi pembelajarannya adalah sebagai berikut:

  1. Pengajaran non direktif

Untuk membentuk kemampuan dan perkembangan pribadi yakni kesadaran diri, pemahaman, otonomi, dan konsep diri.

  1. Latihan kesadaran

Untuk meningkatkan kemampuan self exploration and self awareness, yaitu kemampuan untuk mengembangkan diri dalam bakat, minat, dan kreativitas, dan kesadaran diri.

  1. Sinektik

Untuk mengembangkan kreativitas pribadi dan pemecahan masalah secara kreatif.

  1. Sistem konseptual

Untuk meningkatkan kompleksitas dasar pribadi yang luwes.

  1. d.      Model Modifikasi Tingkah Laku (Behavior Modification Models)

Model pembelajaran ini didasari oleh teori behavioristik, yang mengembangkan sistem-sistem yang efisien untuk memperurutkan tugas-tugas belajar dan membentuk tingkah laku dengan cara memanipulasi penguatan. Para eksponen teori reinforcement telah mengembangkan model-model dan operant conditioning sebagai mekanisme sentral. Para eksponen tersebut seringkali menunjuk kepada teori modifikasi tingkah laku yang menekankan pada perubahan tingkah laku eksternal siswa sebagai visible behavior lebih dari tingkah laku yang mendasarinya dan yang tak dapat diamati. Operant conditioning telah diterapkan dalam bidang pendidikan dan bidang-bidang lainnya(Hamalik, 2011:130) .

  1. 3.      Strategi Pembelajaran
  2. a.      Pembelajaran Penerimaan (Reception Learning)

Pendukung utama pendekatan ini adalah Ausubel. Pendekatan ini dapat disebut dengan proses informasi. Langkah-langkahnya, sebagai berikut:

  1. Penerimaan terhadap prinsip-prinsip umum, aturan-aturan, serta ilustrasi khusus.
  2. Pemahaman terhadap prinsip umum. Pengujian dilakukan dengan tes yang menuntut pernyataan ulang mengenai prinsip-prinsip dan contoh-contoh yang telah diberikan.
  3. Partikularisasi, penerapan prinsip umum ke dalam situasi atau keadaan tertentu.
  4. Tindakan, gerakan dari suasana kognitif dan proses simbol ke suasana perbuatan atau tindakan.

Pendekatan pembelajaran ini dikembangkan menjadi strategi ekspositif, dengan langkah-langkah pokok sebagai berikut:

  1. Penyajian informasi yang diberikan melalui penjelasan simbolik atau demonstrasi yang praktis.
  2. Mengetes penerimaan, ungkapan dan pemahaman siswa. Bila perlu diulangi pesan atau informasi tersebut.
  3. Menyediakan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan prinsip umum sebagai latihan, dengan contoh tertentu. Menguji apakah penerapannya sudah betul atau belum.
  4. Menyediakan berbagai kesempatan kepada siswa untuk menerapkan informasi yang telah dipelajari ke dalam situasi senyatanya (Hamalik, 2011:131)
  5. b.      Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)

Pendukung utama pendekatan ini adalah Piaget dan Bruner, yakni penganut Psikologi Kognitif dan Humanistik. Belajar penemuan dapat juga disebut “Proses Pengalaman”. Langkah-langkah belajar proses pengalaman, adalah:

  1. Tindakan dalam instansi tertentu. Siswa melakukan tindakan dan mengamati pengaruh-pengaruhnya. Contohnya, ketika pelajaran Kimia bagi siswa SMA yang melakukan praktek di laboratorium. Siswa mencampur suatu zat kimia menggunakan tabung reaksi dan mengamati reaksi yang terjadi.
  2. Pemahaman kasus tertentu. Apabila keadaan yang sama muncul kembali, maka dia dapat mengantisipasi pengaruh yang akan terjadi, dan konsekuensi-konsekuensi apa yang akan terasakan. Misalnya, ketika seorang siswa terlambat masuk kelas. Apabila suatu saat ia terlambat lagi, ia sudah dapat mengantisipasi dan menerima konsekuensi atas tindakannya, misalnya mendapat hukuman berlari memutari lapangan.
  3. Generalisasi. Siswa membuat kesimpulan atas prinsip-prinsip umum berdasarkan pemahaman terhadap instansi tersebut. Sebagai contoh, ketika seorang siswa melihat siswa lain yang dihukum karena tidak memakai seragam sebagaimana mestinya. Dan dilain hari, ia juga melihat siswa lainnya yang mendapat hukuman yang sama karena ketahuan merokok di sekolah. Siswa tersebut akan menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan siswa-siswa itu adalah melanggar peraturan yang berlaku di sekolah.
  4. Tindakan dalam suasana baru. Siswa menerapkan prinsip dan mengantisipasi pengaruhnya. Misalnya, siswa baru di sekolah biasanya tidak berani melakukan tindakan-tindakan yang aneh dan masih polos karena takut mendapat sanksi yang tidak diinginkan, mengingat dirinya masih baru di sekolah itu.
  5. c.       Pembelajaran Penguasaan (Mastery Learning)

Pendukung utama pendekatan ini adalah Carrol, yang memadukan teori behavioristik dan humanistik. Belajar tuntas adalah strategi pembelajaran yang diindividualisasikan dengan menggunakan pendekatan kelompok. Pendekatan ini memungkinkan siswa belajar bersama-sama dengan memperhatikan bakat dan ketekunan siswa, pemberian waktu yang cukup, dan bantuan bagi siswa yang mengalami kesulitan (Hamalik, 2011:132-133). Langkah-langkah umum yang harus ditempuh adalah:

  1. Mengajarkan satuan pengajaran pertama dengan menggunakan metode kelompok.
  2. Memberikan tes diagnostik untuk memeriksa kemajuan belajar siswa setelah disampaikan satuan pelajaran tersebut. Hasil tes ini menunjukkan siswa yang telah memenuhi kriteria dan yang belum.
  3. Siswa yang telah memenuhi kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan diperkenankan menempuh pengajaran berikutnya, sedangkan bagi yang belum diberikan kegiatan korektif.
  4. Melakukan pemeriksaan akhir untuk mengetahui hasil belajar yang telah tercapai oleh siswa dalam jangka waktu tertentu.
  5. d.      Pembelajaran Terpadu (Unit Learning)

Pendekatan ini pada mulanya disebut metode proyek yang dikembangkan oleh Dr. J. Dewey, dan orang pertama yang menggunakan istilah unit adalah Morrison. Pendekatan ini berpangkal dari teori psikologi Gestalt. Pembelajaran terpadu adalah suatu sistem pembelajaran yang menekankan pada suatu masalah atau proyek, yang dipelajari oleh siswa baik secara individual maupun secara kelompok dnegan metode yang bervariasi dan dengan bimbingan guru guna mengembangkan pribadi siswa secara utuh dan terintegrasi (Hamalik, 2011:133). Langkah-langkah melaksanakan strategi pengajaran unit adalah:

  1. Mengorientasikan siswa kepada masalah atau topik yang akan dipelajari dalam kelas, secara langsung atau melalui media pembelajaran yang relevan.
  2. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari dan mengumpulkan informasi untuk memecahkan masalah.
  3. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menggunakan informasi tadi dalam praktek penerapan di lapangan.
  4. Mengadakan diskusi dan pembuatan laporan sebagai kegiatan kulminasi.
  5. Melakukan evaluasi terhadap kemajuan belajar siswa, baik oleh guru, mandiri, dan kelompok.
  6. Membicarakan tindak lanjut untuk kegiatan unit selanjutnya.

 

 

 

Rangkuman

Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Di lain pihak, metode merupakan jabaran dari pendekatan. Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam berbagai metode. Selain itu, teknik adalah cara yang dilakukan seseorang dalam rangka mengimplementasikan suatu metode. Dan model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru di kelas.Sedangkan strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didisain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Aspek-aspek pendekatan sistem pembelajaran ada dua aspek, yakni: aspek fisiologi dan aspek proses. Selain aspek-aspek, adapun ciri-ciri pendekatan sistem pembelajaran, adalah sebagai berikut:

  1. Pendekatan sistem sebagai suatu pandangan tertentu mengenai proses pembelajaran di mana berlangsung kegiatan belajar mengajar, terjadinya interaksi antara siswa dan guru, dan memberikan kemudahan bagi siswa untuk belajar secara efektif.
  2. Penggunaan metodologi untuk merancang sistem pembelajaran, yang meliputi prosedur perencanaan, perancangan, pelaksanaan, dan penilaian keseluruhan proses pembelajaran, yang tertuju ke pencapaian tujuan pembelajaran tertentu (konsep, prinsip, keterampilan, sikap dan nilai, kreativitas, dan sebagainya).

Model pembelajaran berdasarkan teori-teori belajar dibedakan menjadi beberapa macam yang meliputi: (1) model pembelajaran interaksi sosial, (2) model proses informasi, (3) model personal, dan (4) model modifikasi tingkah laku. Sedangkan strategi yang dapat digunakan dalam pembelajaran di sekolah diantaranya adalah sebagai berikut: (a) pembelajaran penerimaan, (b) pembelajaran penemuan, (c) pembelajaran penguasaan, serta (d) pembelajaran terpadu.

 

 

SOAL:

  1. Jelaskan perbedaan antara pendekatan, teknik, model, metode, dan strategi dalam pembelajaran!
  2. Dalam suatu pembelajaran, seorang guru membutuhkan lebih dari satu model pembelajaran untuk mengantar siswa mencapai pada tujuan pembelajaran. Model pembelajaran apa yang paling tepat digunakan untuk pembelajaran Bahasa Indonesia pada satuan pendidikan SMA, khususnya untuk materi tentang ketatabahasaan? Jelaskan disertai bukti!
  3. Strategi pembelajaran ada bermacam-macam. Salah satunya adalah strategi pembelajaran inkuiri. Apa yang anda ketahui tentang strategi tersebut? Jelaskan!
  4. Sebutkan dan jelaskan aspek-aspek pendekatan pembelajaran disertai contohnya masing-masing!
  5. Penggunaan metodologi untuk merancang sistem pembelajaran, yang meliputi prosedur perencanaan, perancangan, pelaksanaan, dan penilaian keseluruhan proses pembelajaran, yang tertuju ke pencapaian tujuan pembelajaran tertentu (konsep, prinsip, keterampilan, sikap dan nilai, kreativitas, dan sebagainya). Buatlah RPP dalam pembelajaran Bahasa Indonesia mengenai puisi!
  6. Jelaskan perbedaan antara model pembelajaran interaksi sosial dengan model pembelajaran modifikasi tingkah laku!
  7. Sebutkan dan jelaskan langkah-langkah dalam strategi pembelajaran penemuan!
  8. Bagaimana penerapan pembelajaran penguasaan (mastery learning)?
  9. Pada pembelajaran penguasaan, ada salah satu langkah yaitu, memberikan tes diagnostik untuk memeriksa kemajuan belajar siswa setelah disampaikan satuan pelajaran tersebut. Jelaskan maksud dari langkah tersebut?
  10. Jelaskan apa yang anda ketahui tentang sinektik!

 

 

Daftar pustaka

Hamalik, Oemar. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Sanjaya, Wina. 2008. Pembelajaran dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Prenada Media Group

 

Masalah-Masalah Belajar dan Pembelajaran

MASALAH-MASALAH BELAJAR

Oleh: Efilia Agus Anggraini

  1. A.    Pendahuluan

Guru yang mengajar siswa adalah seorang pribadi yang tumbuh menjadi penyandang profesi guru bidang studi tertentu. Sebagai seorang pribadi, ia juga mengembangkan diri menjadi pribadi utuh. Sebagai seorang diri yang mengembangkan keutuhan pribadi, ia juga menghadapi masalah pengembangan diri, pemenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia. Selain itu, muncul masalah-masalah lain.

Siswa yang dibelajarkan guru adalah seorang pribadi yang unik dan aktif. Siswa memiliki keunikannya sendiri yang membedakannya dengan siswa lainnya. Sebagai seorang pribadi, siswa mempunyai kebutuhan dan permasalahan yang tidak sama dengan siswa lain. Masalah-masalah yang dihadapi guru maupun siswa, baik bersifat intern maupun ektern, akan mempengaruhi hasil belajar. Apabila tidak ditemukan langkah yang tepat untuk mengatasinya, tentu akan menggangu proses belajar dan pembelajaran.

Masalah-masalah tersebut dapat berupa masalah lingkungan sosial siswa, guru sebagai pengajar dan tenaga profesional, ataupun masalah-masalah yang lain. Masalah-masalah belajar dan pembelajaran tersebut perlu dicari solusi demi terwujudnya tujuan belajar dan pembelajaran. Selain itu juga terkait hasil pembelajaran yang optimal.

Guru profesional akan selalu melakukan pengamatan dan evaluasi terhadap siswanya. Guru akan selalu berusaha untuk mendorong siswa agar belajar secara sungguh-sungguh. Guru akan terus mencaritahu bermacam-macam hal yang menyebabkan siswa belajar maupun tidak belajar. Ada siswa yang tidak belajar karena memang merasa enggan untuk belajar. Ada pula siswa yang tidak belajar karena merasa dirinya sudah pintar dibandingkan dengan siswa lainnya.  Dengan demikian, perlu adanya identifikasi masalah-masalah belajar dan pembelajaran untuk mencari solusi terbaiknya demi tercapainya hasil belajar dan pembelajaran yang unggul.

 

  1. B.     Masalah-Masalah Intern Belajar

Proses belajar merupakan hal yang kompleks. Siswalah yang menentukan terjadi atau tidak terjadi belajar. Untuk bertindak belajarsiswa menghadapi masalah-masalah intern. Jika siswa tidak dapat mengatasi masalahnya, maka ia tidak belajar dengan baik. Faktor intern yang dialami dan dihayati oleh siswa yang berpengaruh pada proses belajar sebagai berikut (Dimyati, 2009:239):

  1. Sikap terhadap belajar

Sikap merupakan kemampuan memberikan penilaian tentang sesuatu, yang membawa diri sesuai dengan penilaian. Adanya penilaia tentang sesuatu, mengakibatkan terjadinya sikap menerima, menolak, atau mengabaikan. Siswa memperoleh kesempatan belajar. Meskipun demikian, siswa dapat menerima, menolak, atau mengabaikan kesempatan belajar tersebut.

  1. Motivasi belajar

Motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong terjadinya proses belajar. Motivasi belajar pada diri siswa dapat menjadi lemah. Lemahnya motivasi, atau tidaknya motivasi belajar akan melemahkan kegiatan belajar. Selanjutnya, mutu hasil belajar akan menjadi rendah. Oleh karena itu, motivasi belajar pada diri siswa perlu diperkuat terus menerus. Agar siswa memiliki motivasi belajar yang kut, pada tempatnya diciptakan suasana belajar yang menggembirakan (Dimyati, 2009:239).

  1. Konsentrasi belajar

Konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan perhatian pada pelajaran. Pemusatan perhatian tersebut tertuju pada isi bahan belajar maupun proses memperolehnya. Untuk memperkuat perhatian pada pelajaran, guru perlu menggunakan bermacam-macam strategi belajar-mengajar, dan memperhitungkan waktu belajar serta selingan istirahat. Dalam pengajaran klasikal, menurut Rooijakker, kekuatan perhatian selama tiga puluh menit telah menurun. Ia menyarankan agar guru memberikan istirahat selingan selama beberapa menit. Dengan selingan istirahat tersebut, prestasi belajar siswa akan meningkat kembali (Dimyati, 2009:239-240).

  1. Mengolah bahan belajar

Mengolah bahan belajar merupakan kemampuan siswa untuk menerima isi dan cara pemerolehan ajaran sehingga menjadi bermakna bagi siswa. Isi bahan belajar berupa pengetahuan, nilai kesusilaan, nilai agama, nilai kesenian, serta keterampilan mental dan jasmani. Kemampuan menerima isi dan cara pemerolehan tersebut dapat dikembangkan dengan belajar berbagai mata pelajaran. Kemampuan siswa mengolah bahan tersebut menajdi makin baik, bila siswa berpeluang aktif belajar. Dari segi guru, pada tempatnya menggunakan pendekatan-pendekatan keterampilan proses, inkuiri, ataupun laboratori (Dimyati, 2009:241).

  1. Menyimpan perolehan hasil belajar

Menyimpan perolehan hasil belajar merupakan kemampuan menyimpan isi pesan dan cara perolehan pesan. Kemampuan menyimpan tersebut dapat berlangsung dalam waktu pendek dan waktu yang lama. Kemampuan menyimpan dalam waktu pendek berarti hasil belajar cepat dilupakan. Kemampuan menyimpan dalam waktu lama berarti hasil belajar tetap dimiliki siswa. Pemilikan itu dalam waktu bertahun-tahun, bahkan sepanjang hayat. Biggs dan Telfer (Dimyati, 2009:241) menjelaskan proses belajar di ranah kognitif tentang hal pengolahan, penyimpanan, dan penggunaan kembali pesan. Proses belajar terdiri dari proses pemasukan (input processes), proses pengolahan kembali dan hasil (output processes), dan poses penggunaan kembali (activation processes).

Dalam kehidupan sebenarnya tidak berarti bahwa semua proses tersebut berjalan lancar. Ada siswa yang mengalami kesukaran dalam proses penerimaan, akibatnya, proses-proses penguatan, pengolahan, penyimpanan, dan penggunaan akan terganggu. Ada siswa yang mengalami kesukaran dalam proses  penyimpanan. Akibatnya proses penggunaan hasil belajar akan terganggu (Dimyati, 2009:241-242).

  1. Menggali hasil belajar yang tersimpan

Ada kalanya siswa juga mengalami gangguan dalam menggali pesan dan kesan lama. Gangguan tersebut bukan hanya bersumber pada pemanggilan atau pembangkitannya sendiri. Gangguan tersebut dapat bersumber dari kesukaran penerimaan, pengolahan, dan penyimpanan. Jika siswa tidak memperhatikan pada saat penerimaan, maka siswa tidak memiliki apa-apa. Jika siswa tidak berlatih sungguh-sungguh, maka siswa tidak berketerampilan dengan baik.

  1. Kemampuan beprestasi atau unjuk hasil belajar

Kemampuan berperstasi atau unjuk hasil belajar merupakan suatu puncak proses belajar. Pada tahap ini siswa membuktikan keberhasilan belajar. Siswa menunjukkan bahwa ia telah mampu memecahkan tugas-tugas belajar atau mentransfer hasil belajar. Dari pengalaman sehari-hari di sekolah diketahui bahwa ada sebagian siswa tidak mampu berprestasi dengan baik. Kemampuan berprestasi tersebut terpengaruh oleh proses-proses penerimaan, pengaktifan, pra-pengolahan, pengolahan, penyimpanan, serta pemanggilan untuk pembangkitan pesan dan pengalaman. Bila proses-proses tersebut tidak baik, maka siswa dapat berprestasi kurang atau dapat juga gagal berprestasi (Dimyati, 2009:243).

  1. Rasa Percaya Diri Siswa

Rasa percaya diri timbul dari keinginan mewujudkan diri bertindak dan berhasil. Dari segi perkembangan, rasa percaya diri dapat timbul berkat adanya pengakuan dari lingkungan.  Dalam proses belajar diketahui bahwa unjuk prestasi merupakan tahap pembuktian perwujudan diri yang diakui oleh guru dan rekan sejawat siswa.  Makin sering berhasil menyelesaikan tugas, maka semakin memperoleh pengakuan umum, dan selanjutnya rasa percaay diri semakin kuat, dan begitu pula sebaliknya.

  1. Intelegensi dan Keberhasilan Belajar

Menurut Wechler (Dimyati, 2009:245) intelegensi adalah suatu kecakapan global atau rangkuman kecakapan untuk dapat bertindak secara terarah, berpikir secara baik, dan bergaul dengan lingkungan secara efisien. Kecakapan tersebut menjadi aktual bila siswa memecahkan masalah dalam belajar atau kehidupan sehari-hari.

Menurut Siti Rahayu Haditono (Dimyati, 2009:246), di Indonesia juga ditemukan banyak siswa memperoleh angka hasil belajar yang rendah. Hal itu disebabkan oleh faktor-faktor seperti (i) kurangnya fasilitas belajar di sekolah dan rumah di berbagai pelosok, (ii) siswa makin dihadapkan oleh berbagai pilihan dan mereka merasa ragu dan takut gagal, (iii) kurangnya dorongan mental dari orang tua karena orang tua tidak memahami apa yang dipelajari oleh anaknya di sekolah, dan (iv) keadaan gizi yang rendah, sehingga siswa tidak mampu belajar yang lebih baik, serta (v) gabungan dari faktor-faktor tersebut, mempengaruhi berbagai hambatan belajar.

  1. Kebiasaan belajar

Dalam kegiatan sehari-hari ditemukan adanya kebiasaan belajar yang kurang baik. Kebiasaan belajar tesebut yang kurang baik. Kebiasaan belajar tersebut antara lain berupa (i) belajar pada akhir semester, (ii) belajar tidak teratur, (iii) menyia-nyiakan kesempatan belajar, (iv) bersekolah hanya untuk bergengsi, (v) datang terlambat bergaya pemimpin, (vi) bergaya jantan seperti merokok, sok menggurui teman lain, dan (vii) bergaya minta “belas kasihan” tanpa belajar (Dimyati, 2009:146).

Kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut dapat ditemukan di sekolah yang ada i kota besar, kota kecil, dan di pelosok tanah air. Untuk sebagian, kebiasaan belajar tersebut disebabkan oleh ketidakmengertian siswa pada arti belajar bagi diri sendiri. Hal ini dapat diperbaiki dengan pembinaan disiplin membelajarkan diri.

  1. Cita-cita siswa

Dalam rangka tugas perkembangan, pada umumnya setiap anak memiliki suatu cita-cita dalam hidup. Cita-cita merupakan motivasi intrinsik. Tetapi adakalanya “gambaran yang jelas” tentang tokoh teladan bagi siswa belum ada. Akibatnya, siswa hanya berperilaku ikut-ikutan. Cita-cita sebagai motivasi intrinsik perlu dididikkan. Didikan memiliki cita-cita harus dimulai sejak sekolah dasar. Di sekolah menengah didikan pemilikan dan pencapaian cita-cita sudah semakin terarah. Cita-cita merupakan wujud eksploitasi dan emansipasi diri siswa. Didikan pemilikan dan pencapaian cita-cita sebaiknya berpangkal dari kemampuan berprestasi, dimulai dari hal yang sederhana ke yang semakin sulit (Dimyati, 2009:247).

 

  1. C.    Masalah-Masalah Ekstern Belajar
    1. Guru sebagai pembina siswa belajar

Guru adalah pengajar yang mendidik. Ia tidak hanya mengajar bidang studi yang sesuai dengan keahliannya, tetapi juga menjadi pendidik generasi muda bangsanya. Sebagai pendidik, ia memusatkan perhatian pada kepribadian siswa, khususnya berkenaan dengan kebangkitan belajar. Kebangkitan belajar tersebut merupakan wujud emansipasi diri siswa. Sebagai guru yang pengajar, ia bertugas mengelola kegiatan belajar siswa di sekolah (Dimyati, 2009:248).

Guru yang mengajar siswa adalah seorang pribadi yang tumbuh menjadi penyandang profesi guru bidang studi tertentu. Sebagai seorang pribadi ia juga mengembangkan diri menjadi pribadi utuh. Sebagai seorang diri yang mengembangkan keutuhan pribadi, ia juga menghadapi masalah pengembangan diri, pemenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia. Hal-hal yang dipelajari oleh setiap guru adalah (i) memiliki integritas moral kepribadian, (ii) memiliki integritas intelektual berorientasi kebenaran, (iii) memiliki integritas religius dalam konteks pergaulan dalam masyarakat majemuk, (iv) mempertinggi mutu keahlian bidang studi sesuai dengan kemampuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, (v) memahami, menghayati, dan mengamalkan etika profesi guru, (vi) bergabung dengan asosiasi profesi, serta (vii) mengakui dan menghormati martabat siswa sebagai klien guru (Dimyati, 2009:248-249).

Adapun tugas pengelolaan pembelajaran siswa tersebut meliputi hal-hal berikut: (i) pembangunan hubungan baik dengan siswa, (ii) menggairahkan minat, perhatian, dan memperkuat motivasi belajar, (iii) mengorganisasi belajar, (iv) melaksanakan pendekatan pembelajaran secara tepat, (v) mengevaluasi hasil belajar secara jujur dan objektif, serta (vi) melaporkan hasil belajar siswa kepada orang tua siswa yang berguna bagi orientasi masa depan siswa (Dimyati, 2009:249).

  1. Prasarana dan sarana pembelajaran

Prasarana pembelajaran meliputi gedung sekolah, ruang belajar, lapangan olahraga, ruang ibadah, ruang kesenian, dan peralatan olah raga. Sarana pembelaajran meliputi buku pelajaran, buku bacaan, alat dan fasilitas laboratorium sekolah, dan berbagai media pengajaran yang lain. Lengkapnya prasarana dan sarana pembelajaran merupakan kondisi pembelajaran yang baik. Hal itu tidak berarti bahwa lengkapnya prasarana dan sarana menentukan jaminan terselenggaranya proses belajar yang baik (Dimyati, 2009:249).

Prasarana dan sarana proses belajar adalah barang mahal. Barang-barang tersebut dibeli dengan uang pemerintah dan masyarakat. Maksud pembelian tersebut adalah untuk mempermudah siswa belajar. Dengan tersedianya prasarana dan sarana belajar berarti menuntut berikut: (i) Memelihara, mengatur prasarana untuk menciptakan suasana belajar yang menggembirakan, (ii) memelihara dan mengatur sarana, (iii) mengorganisasikan belajar siswa sesuai dengan prasarana dan sarana secara tepat guna (Dimyati, 2009:250).

  1. Kebijakan penilaian

Puncak dari suatu proses belajar adalah hasil belajar siswa atau unjuk kerja siswa. Sebagai suatu hasil maka dengan unjuk kerja tersebut, proses belajar berhenti untuk sementara. Dan terjadilah penilaian. Dengan penilaian yang dimaksud adalah penentuan sampai sesuatu dipandang berharga, bermutu, atau bernilai (Dimyati, 2009:250). Penilaian ini dapat disebut dengan istilah ujian semester ataupun ujian tengah semester. Dimana proses belajar berhenti dan guru menyiapkan berbagai soal untuk menguji hasil belajar dan pembelajaran yang terjadi selama ini.

  1. Lingkungan sosial siswa di sekolah

Siswa-siswa di sekolah membentuk suatu lingkungan pergaulan yang dikenal sebagai lingkungan sosial siswa. Dalam lingkungan sosial tersebut ditemukan adanya kedudukan dan peranan tertentu. Dalam kehidupan kesiswaan terjadilah hubungan antar siswa. Tiap siswa dalam lingkungan sosial memiliki kedudukan, peranan, dan tanggung jawab sosial tertentu. Dalam kehidupan tersebut terjadi pergaulan, seperti hubungan sosial tertentu. Dalam kehidupan tersebut terjadi pergaulan, seperti hubungan akrab, kerja sama, kerja berkoperasi, berkompetensi, berkonkurensi, bersaing, konflik, atau perkelahian (Dimyati, 2009:252).

  1. Kurikulum sekolah

Program pembelajaran di sekolah mendasarkan diri pada suatu kurikulum. Kurikulum yang diberlakukan sekolah adalah kurikulum nasional yang disahkan oleh pemerintah, atau suatu kurikulum yang disahkan oleh suatu yayasan pendidikan. Kurikulum sekolah tersebut berisi tujuan pendidikan, isi pendidikan, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Berdasarkan kurikulum tersebut guru menyusun desain instruksional untuk membelajarkan siswa. Hal itu berarti bahwa program pembelajaran di sekolah sesuai dnegan sistem pendidikan nasional. Akan tetapi, perubahan kurikulum sekolah menimbulkan masalah. Masalah-masalah itu antara lain, tujuan yang akan dicapai mungkin berubah, isi pendidikan berubah, kegiatan belajar-mengajar berubah, dan evaluasi berubah (Dimyati, 2009:253-254).

 

  1. D.    Cara Menentukan Masalah-Masalah Belajar
    1. 1.      Pengamatan Perilaku Belajar

Sekolah merupakan pusat pembelajaran. Guru bertindak menjelaskan, dan siswa bertindak belajar. Tindakan belajar tersebut dilakukan oleh siswa. Perilaku belajar merupakan gejala belajar menurut pengamat. Sedangkan tindak belajar atau proses belajar merupakan gejala belajar yang dialami dan dihayati oleh siswa. Guru selaku pembelajar bertindak membelajarkan dengan mengajar. Guru selaku pengamat, melakukan pengamatan terhadap perilaku siswa. Dalam pengamatan tersebut guru juga mewawancarai siswa atau teman belajarnya. Bila masalah siswa ditemukan, maka sebagai pendidik, guru berusaha membantu memecahkan masalah belajar(Dimyati, 2009:225).

Peran pengamatan perilaku belajar dilakukan sebagai berikut(Dimyati, 2009:256):

  1. Menyusun rencana pengamatan, seperti tindak belajar berkelompok atau belajar sendiri, atau yang lain.
  2. Memilih siapa yang akan diamati, meliputi beberapa orang siswa.
  3. Menentukan berap lama berlangsungnya pengamatan, seperti dua, tiga, atau empat bulan.
  4. Menentukan hal-hal apa yang akan diamati, seperti cara siswa membaca, cara menggunakan media belajar, prosedur, dan cara proses belajar sesuatu.
  5. Mencatat hal-hal yang diamati.
  6. Menafsirkan hasil pengamatan.
  7. 2.      Analisis Hasil belajar

Analisis hasil belajar siswa merupakan pekerjaan khusus. Hal ini pada tempatnya dikuasai dan dikerjakan oleh guru. Dalam melakukan analisis hasil belajar pada tempatnya guru melakukan langkah-langkah berikut:

  1. Merencanakan analisis sejak awal semester, sejalan dengan desain instruksional.
  2. Merencanakan jenis-jenis pekerjaan siswa yang dipandang sebagai hasil belajar.
  3. Merencanakan jenis-jenis ujian dan alat evaluasi tersebut
  4. Mengumpulkan hasil belajar siswa, baik yang berupa jawaban ujian tulis, ujian lisan, dan karya tulis maupun benda.
  5. Melakukan analisis secara statistik tentang angka-angka perolehan ujian dan mengategori karya-karya yang tidak bisa diangkakan.
  6. Mempertimbangkan hasil pengamatan pada kegiatan belajar, perilaku belajar siswa tersebut dikategorikan secara ordinal.
  7. Mempertimbangkan tingkan kesukaran bahan ajar bagi kelas, yang dibandingkan dengan program kurikulum yang berlaku.
  8. Memperhatikan kondisi-kondisi ekstern yang berpengaruh atau diduga ada pengaruhnya dalam belajar.
  9. Guru juga melancarkan suatu angket evaluasi pembelajaran pada siswa menjelang akhir semester.
  10. 3.      Tes Hasil Belajar

Jenis tes secara umum adalah tes lisan dan tes tulis. Tes tulis sendiri dibedakan menjadi dua, yakni tes esai dan tes objektif. Tes lisan memiliki kelebihan. Kelebihannya adalah (i) penguji dapat menyelesaikan bahasa dengan tingkat daya tangkap siswa, (ii) penguji dapat mengejar tingkat pengusaan siswa tentang pokok bahasan tertentu, dan (iii) siswa dapat melengkapi jawaban lebih leluasa. Di samping itu, ada juga kelemahannya, yakni penguji dapat terjerumus pada kesan subjektif atas perilaku siswa dan memerlukan waktu yang lama (Dimyati, 2009:257-258).

Sedangkan kelebihan tes tulis adalah (i) penguji dapat menguji banyak siswa dalam waktu terbatas, (ii) objektivitas pengerjaan tes terjamin dan mudah diawasi, (iii) penguji dapat menyusun soal-soal yang merata pada tiap pokok bahasan, (iv) penguji dengan mudah dapat menentukan standar penilaian, dan (v) dalam pengerjaan, siswa dapat memilih menjawab urutan soal sesuai kemampuannya. Namun, kelemahannya adalah penguji tidak sempat memperoleh penjelasan tentang jawaban siswa, rumusan pertanyaan yang tak jelas menyulitkan siswa, dan dalam peemriksaan dapat terjadi subjektivitas penguji (Dimyati, 2009:258).

Tes esai sebagai bagian dari tes tertulis juga memiliki kelebihan, diantaranya penguji dapat menilai kemampuan siswa bernalar, bila cara memberi angka ada kriteria jelas maka dapat menghasilkan data objektif. sedangkan kelemahannya adalah jumlah soal sangat terbatas dan kemungkinan siswa berspekulasi dalam belajar. Di samping itu, objektivitas pengerjaan dan pembinaan sukar dilakukan.

Terakhir adalah tes objektif. kelebihan dari tes ini meliputi (i) penguji dapat membuat soal yang banyak dan meliputi semua pokok bahasan, (ii) pemeriksaan dapat dilakukan secara objektif dan cepat, (iii) siswa tak dapat berspekulasi dalam belajar, dan (iv) siswa yang tak pandai menjelaskan dengan bahawa yang baik tidak terhambat. Sepeti jenis tes lainnya, tes ini juga mempunyai kelemahan. Kelemahannya adalah kemampuan siswa bernalar tidak tertangkap, penyusunan tes memakan waktu lama, memakan dana besar, siswa yang pandai menerka jawaban dapat keuntungan dan pengarsipan soal sukar dan memungkinkan kebocoran (Dimyati, 2009:258).

  1. E.     Mengenal dan Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa

Setiap guru adalah sebagai pengajar sekaligus berperan sebagai pembimbing dalam proses belajar mengajar. Abdillah (Aunurrahma, 2012:196), mengemukakan bahwa sebagai pembimbing dalam proses belajar mengajar, seorang guru diharapkan mampu:

  1. Memberikan informasi yang diperlukan dalam proses belajar.
  2. Membantu setiap siswa dalam mengatasi setiap masalah pribadi yang dihadapinya.
  3. Mengevaluasi hasil setiap langka kegiatan yang telah dilakukannya.
  4. Memberikan setiap kesempatan yang memadai agar setiap murid dapat belajar sesuai dengan karakteristik pribadinya.
  5. Mengenal dan memahami setiap murid baik secara individual maupun secara kelompok.

Agar bimbingan belajar dapat lebih terarah dalam upaya membantu siswa dalam mengatasi keulitan belajar, maka perlu diperhatikan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. a.      Identifikasi

Identifikasi adalah suatu kegiatan yang diarahkan untuk menemukan siswa yang mengalami kesulitan belajar, yaitu mencari informasi tentang siswa dengan melakukan kegiatan berikut:

  1. Data dokumen hasil belajar siswa, misalnya rapor siswa.
  2. Menganalisis absensi siswa di dalam kelas.
  3. Mengadakan wawancara dengan siswa, seperti mengajukan beberapa pertanyaan terkait masalah belajar siswa pada saat jam istirahat.
  4. Menyebar angket untuk memperoleh data tentang permasalahan belajar.
  5. Tes untuk memperoleh data tentang kesulitan belajar atau permasalahan yang sedang dihadapi (Aunurrahman, 2012:197)
  6. b.      Diagnosis

Diagnosis adalah keputusan atau penentuan mengenai hasil dari pengolahan data tentang siswa yang mengalami kesulitan belajar dan jenis kesulitan yang dialami siswa. Diagnosis ini dapat berupa hal-hal berikut:

  1. Keputusan mengenai jenis kesulitan belajar siswa.
  2. Keputusan mengenai faktor-faktor yang menjadi sumber sebab-sebab kesulitan belajar.
  3. Keputusan mengenai jenis mata pelajaran apa yang mengalami kesulitan belajar (Aunurrahman, 2012:197).

Kegiatan diagnosis dapat dilakukan dengan cara:

  1. Membandingkan nilai prestasi individu untuk setiap mata pelajaran dengan rata-rata nilai seluruh individu.
  2. Membandingkan prestasi dengan potensi yang dimiliki oleh siswa tersebut.
  3. Membandingkan nilai yang diperoleh dengan batas minimal tujuan yang diharapkan(Aunurrahman, 2012:198).
  4. c.       Prognosis

Prognosis merujuk pada aktivitas penyusunan rencana atau program yang diharapkan dapat membantu mengatasi masalah kesulitan belajar siswa. Prognosis ini dapat berupa (Ainurrahman, 2012:198):

  1. Bentuk treatmen yang harus diberikan.
  2. Bahan atau materi yang diperlukan.
  3. Metode yang akan digunakan.
  4. Alat bantu belajar mengajar yang diperlukan.
  5. Waktu kegiatan dilaksanakan.
  6. d.      Terapi atau Pemberian Bantuan

Terapi adalah pemberian bentuan kepada anak yang mengalami kesulitan belajar sesuai dengan program yang telah disusun pada tahap prognosis. Bentuk terapi yang diberikan antara lain melalui:

  1. Bimbingan belajar kelompok
  2. Bimbingan belajar individual
  3. Pengajaran remedial
  4. Pemberian bimbingan pribadi
  5. Alih tangan kasus.
  6. e.       Tindak Lanjut atau Follow Up

Tindak lanjut atau follow up adalah usaha untuk mengetahui keberhasilan bantuan yang telah diberikan kepada siswa dan tindak lanjutnya yang didasari hasil evaluasi terhadap tindakan yang dilakukan dalam upaya pemberian bimbingan.

Rangkuman

Dalam proses belajar dan pembelajaran, pasti akan muncul permasalahan-permasalahan. Masalah-masalah belajar tersebut adalah masalah-masalah belajar intern dan masalah-masalah belajar ekstern. Masalah-masalah intern tersebut meliputi: (1) Sikap terhadap belajar, (2) motivasi belajar, (3) konsentrasi belajar, (4) mengolah bahan belajar, (5) menyimpan perolehan hasil belajar, (6) menggali hasil belajar yang tersimpan, (7) kemampuan berprestasi atau unjuk kerja hasil belajar, (8) rasa percaya diri siswa, (9) intelegensi dan keberhasilan belajar, (10) kebiasaan belajar, dan (11) cita-cita siswa. Sedangkan masalah-masalah ekstern dalam belajar, diantaranya: guru sebagai pembina siswa belajar, prasarana dan sarana pembelajaran, kebijakan penilaian, lingkungan sosial siswa di sekolah, serta kurikulum sekolah.

Untuk memecahkan masalah-masalah belajar tersebut, baik masalah intern dan ekstern, perlu adanya pengamatan terlebih dahulu untuk menentukan masalah-masalah belajar. Langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh guru adalah sebagai berikut: pengamatan perilaku belajar, analisis hasil belajar, dan tes hasil belajar.

Setiap guru adalah sebagai pengajar sekaligus berperan sebagai pembimbing dalam proses belajar mengajar. Abdillah (Aunurrahma, 2012:196), mengemukakan bahwa sebagai pembimbing dalam proses belajar mengajar, seorang guru diharapkan mampu:

  1. Memberikan informasi yang diperlukan dalam proses belajar.
  2. Membantu setiap siswa dalam mengatasi setiap masalah pribadi yang dihadapinya.
  3. Mengevaluasi hasil setiap langka kegiatan yang telah dilakukannya.
  4. Memberikan setiap kesempatan yang memadai agar setiap murid dapat belajar sesuai dengan karakteristik pribadinya.
  5. Mengenal dan memahami setiap murid baik secara individual maupun secara kelompok.

Agar bimbingan belajar dapat lebih terarah dalam upaya membantu siswa dalam mengatasi keulitan belajar, maka perlu diperhatikan langkah-langkah sebagai berikut: identifikasi, diagnosis, prognosis, terapi atau pemberian bantuan, dan tindak lanjut atau follow up.

 

Soal:

  1. Dalam pembelajaran, muncul masalah-masalah belajar yang ada dalam diri siswa. Sebutkan dan jelaskan!
  2. Bagaimana sikap guru yang baik, apabila ada siswa yang sering bolos dan tingkat prestasinya di bawah rata-rata teman yang lain?
  3. Langkah bijak apa yang harus dilakukan seorang guru terhadap siswa yang belum layak untuk naik kelas, akan tetapi siswa tersebut telah mempunyai catatan tidak naik kelas sebelumnya dan telah menunjukkan perubahan perilaku yang lebih baik?
  4. Jelaskan beserta contohnya jenis-jenis tes dalam mengevaluasi hasil belajar!
  5. Jelaskan cita-cita siswa sebagai masalah belajar dalam proses pembelajaran!
  6. Bagaimana cara untuk menumbuhkan sikap jujur dan percaya diri dalam diri siswa?
  7. Intelegensi adalah suatu kecakapan global atau rangkuman kecakapan untuk dapat bertindak secara terarah, berpikir secara baik, dan bergaul dengan lingkungan secara efisien. Bagaimana menghadapi siswa yang mempunyai intelegensi yang mumpuni namun tidak dapat bergaul dengan baik dengan teman sejawatnya? Sebagai guru yang mengajar, apa yang seharusnya dilakukan? Jelaskan!
  8. Jelaskan peranan pengamatan perilaku belajar!
  9. Sebutkan masalah-masalah pembelajaran yang paling sering dialami seorang guru! Jelaskan!
  10. Bagaimana cara menumbuhkan pemikiran nalar siswa?

Sumber:

Aunurrahman. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: ALFABETA.

Dimyati, dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

 

 

Model-Model Belajar Pembelajaran

Model-Model Belajar dan Pembelajaran

Oleh: Efilia Agus Anggraini

  1. A.    Pendahuluan

Komisi tentang Pendidikan Abad ke-21 merekomendasikan empat strategi dalam menyukseskan pendidikan, yaitu learning to learn, yaitu bagaimana pelajar mampu menggali informasi yang ada di sekitarnya; learning to be, yaitu pelajar mampu mengenali dirinya sendiri dan beradaptasi dengan lingkungannya; learning to do, yaitu berupa tindakan untuk memunculkan ide yang berkaitan dengan sainstek;dan learning to be together, yaitu bagaimana hidup di masyarakat yang saling bergantung, sehingga mampu bersaing secara sehat, bekerja sama dan menghargai orang lain(Trianto, 2009:4-5).

Di sisi lain, kualitas pendidikan Indonesia dianggap oleh banyak kalangan masih rendah. Hal ini dilihat dari beberapa indikator. Salah satunya adalah  lulusan sekolah atau perguruan tinggi yang belum siap memasuki dunia kerja karena minimnya kompetensi yang dimiliki.Sehingga peningkatan mutu pendidikan menjadi salah satu usaha yang harus dilakukan secara intensif di tanah air karena mutu pendidikan masih dalam kategori rendah secara umum. Untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, diperlukan kerjasama yang baik dari semua pihak. Terutama pihak-pihak yang terkait dengan dunia pendidikan atau pun instansi pendidikan untuk saling bersinergi dalam pendidikan Indonesia yang lebih baik.  Salah satu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah melakukan berbagai inovasi pembelajaran. Guru sebagai salah satu oknum pendidikan mempunyai peran penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Guru adalah sosok yang berjasa dalam mendidik tunas harapan bangsa, harus menentukan dan mengupayakan sistem pengajaran supaya lebih bermakna dan berdaya guna. Di dalam proses belajar mengajar guru diharapkan dapat memilih model-model pembelajaran yang efektif dan bervariasi. Pemilihan model pembelajaran sangat tergantung kepada tujuan pengajaran, bahan yang diajarkan, kompentensi siswa serta sarana dan prasarana yang tersedia, persyaratan lain yang harus diperhatikan adalah guru harus mengenal dan menguasai model pembelajaran itu sendiri, tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut disesuaikan dengan bahan atau tujuan dan ruang lingkupnya.

  1. B.     Problem-based Learning
    1. 1.      Gambaran Umum

Dalam model pembelajaran Problem-based Learning, belajar dan pembelajaran diorientasikan kepada pemecahan berbagai masalah terutama yang terkait dengan aplikasi materi pelajaran di dalam kehidupan nyata. Selama siswa melakukan kegiatan memecahkan masalah, guru berperan sebagai tutor yang akan membantu mereka mendefinisikan apa yang mereka tidak tahu dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memahami dan atau memecahkan masalah (Newbledan Cannon dalam Gintings, 2010:210). Pengembangan model ini diantaranya didasari oleh:

  1. Prinsip Enquiry Learning yang memandang belajar adalah upaya untuk menemukan sendiri pengetahuan.
  2. Teori-teori psikologi belajar dan pembelajaran modern yang menjelaskan bahwa pengetahuan akan lebih diingat dan dikemukakan kembali secara lebih efektif jika belajar dan pembelajaran didasarkan dalam konteks manfaatnya di masa depan.

Hasil nyata dan penerapan pendekatan ini dalam pendidikan kedokteran terbukti bahwa banyak siswa yang belajar dengan pendekatan PBL dapat mengingat materi pelajaran dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan siswa yang belajar dengan pendekatan lain.Tentu saja keberhasilan penerapan PBL dalam pendidikan bidang kedokteran tidak bisa begitu saja dijadikan pegangan mutlak ketika akan menerapkan ke dalam pendidikan bidang lain. Akan tetapi, dengan pertimbangan yang komprehensif terutama aspek-aspek spesifik seperti kematangan intelektual siswa dan karakteristik materi yang diajarkan serta kompetensi yang akan dicapai, dan berbagai aspek praktis maka PBL dapat diterapkan dalam berbagai bidang dan jenjang pendidikan yang diracik dalam kemasan yang khas (Gintings, 2010:211).

  1. 2.      Tahapan-tahapan pemecahan masalah

Tahapan pemecahan masalah sangat bergantung pada kompleksitas masalahnya. Berikut ini uraian tahapan-tahapan tersebut:

  1. Tahapan pemecahan masalah secara akademik

Secara akademik tahapan pemecahan masalah yang kompleks adalah sebagai berikut:

  1. Kesadaran akan adanya masalah
  2. Merumuskan masalah
  3. Membuat jawaban sementara atas masalah atau hipotesis
  4. Mengumpulkan data atau fakta-fakta
  5. Menganalisis data atau fakta-fakta sebagai pengujian hipotesa
  6. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil pengujian hipotesa
  7. Membuat alternatif pemecahan masalah
  8. Menetapkan pilihan diantara alternatif pemecahan masalah
  9. Menyusun rencana upaya pemecahan masalah
  10. Melaksanakan upaya pemecahan masalah
  11. Mengevaluasi hasil pemecahan masalah.

 

  1. Tahapan pemecahan masalah secara praktis

Tahapan pemecahan masalah yang lebih praktis adalah sebagai berikut:

  1. Kesadaran akan adanya masalah
  2. Merumuskan masalah
  3. Mencari alternatif pemecahan masalah
  4. Menetapkan pilihan diantara alternatif pemecahan masalah
  5. Melaksanakan pemecahan masalah
  6. Evaluasi hasil pemecahan masalah

 

  1. 3.      Pemecahan masalah sebagai pengambilan keputusan

Ada dua hal yang perlu dikemukakan terkait dengan keterkaitan antara rumusan masalah dan penetapan pilihan pemecahan masalah pendekatan pengambilan keputusan sebagaimana diuraikan berikut ini (Gintings, 2010:212-213):

  1. Keterkaitan rumusan masalah dan pemecahan masalah

Ada empat kemungkinan hubungan antara rumusan masalah dan keputusan atau solusinya yakni:

  1. Kemungkinan 1: rumusan masalah benar dan pemecahan yang benar.
  2. Kemungkinan 2: rumusan masalah benar tetapi pemecahannya salah.
  3. Kemungkinan 3: rumusan masalah salah tetapi pemecahannya benar.
  4. Kemungkinan 4: rumusan masalah salah dan pemecahannya salah.

Mencermati keempat kemungkinan hubungan antara rumusan masalah berikut solusinya, maka dapat dipahami mengapa perumusan masalah sangat penting dalam proses pembuatan keputusan dalam proses pemecahan atau solusi pemecahan dan sebuah masalah.

  1. Jenis-jenis pendekatan pengambilan keputusan

Pendekatan yang digunakan dalam pengambilan keputusan akan mempengaruhi langkah-langkah dan informasi yang diperlukan. Ada empat kemungkinan pendekatan yang digunakan dalam pengambilan keputusan (Diajeng dalam Gintings, 2010:213) yaitu:

  1. Keputusan yang didasarkan pada intuisi.
  2. Keputusan yang didasarkan pada pengalaman.
  3. Keputusan yang didasarkan pada kekuasaan.
  4. Keputusan yang didasarkan pada fakta.

Dari keempat pendekatan tersebut, hanya keputusan yang berdasarkan fakta yang merupakan keputusan bersifat akademik karena menggunakan fakta sehingga obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan alasannya secara obyektif. Ketiga pendekatan lainnya lebih bersifat subyektif sekalipun dalam prosesnya dimungkinkan menggunakan fakta tadi dalam skala yang terbatas sekali (Gintings, 2010:213).

  1. 4.      Tahapan dalam penerapan Problem-based Learning

Berikut ini diberikan contoh tahapan yang dapat diterapkan dalam menyelenggarakan belajar dan pembelajaran dengan model PBL. Para guru dapat mengembangkan tahapan yang berbeda sesuai dengan permasalahan yang akan didiskusikan serta kondisi kelas.

  1. Mempelajari standar isi dan standar kompetensi siswa dan kurikulum untuk menentukan karakteristik masalah yang sesuai untuk digunakan sebagai bahan belajar dan pembelajaran.
  2. Pelajari tingkat penegtahuan siswa untuk mempertimbangkan kompleksitas persoalan yang akan dijadikan bahan belajar dan pembelajaran.
  3. Buatlah soal atau tugas yang berisi masalah yang harus dicarikan solusinya oleh siswa atau kelompok siswa dengan merujuk kepada hasil analisis kurikulum dan tingkat kemampuan siswa.
  4. Beri pengkondisian awal kepada ssiwa sebelum diberi tugas masalah untuk dicarikan solusinya.
  5. Kegiatan diskusi atau pelaksanaan prosedur pemecahan masalah oleh siswa atau kelompok-kelompok siswa.
  6. Menutup kegiatan dengan menyelenggarakan diskusi tentang hasil pemecahan masalah.
  7. Guru melakukan penilaian terhadap hasil kegiatan siswa dan memberikan komentar serta pengarahan untuk ditindaklanjuti sebagai kegiatan pengayaan bagi siswa (Gintings, 2010:213-214).
  8. C.    Cooperative Learning
    1. 1.      Kesalahan paradigma mengajar

Aliran lama di bidang belajar dan pembelajaran lebih didasarkan pada teori tabularasa yang dikemukakanm oleh John Locke yang memandang siswa sebagai kertas kosong yang siap dicoret-coret oleh gurunya atau botol kosong yang siap diisi ilmu pengetahuan oleh gurunya. Oleh karena itu banyak pengajar yang mempraktekkan kegiatan belajar dan pembelajaran yang lebih berpusat kepada guru. Akibatnya terjadi praktek-praktek belajar dan pembelajaran yang kalaupun tidak dapat disebut salah kaprah atau kesalahan paradigma, tetapi kurang optimal karena guru membuat siswa pasif dalam kegiatan belajar dan pembelajaran (Gintings, 2010:214).

Misalnya ketika guru memakai metode ceramah dalam pembelajarannya. Guru sibuk menjelaskan tentang materi yang dipelajari dan kurang adanya interaksi dengan siswanya. Siswa hanya diposisikan sebagai pendengar yang harus mendengarkan semua materi yang sedang dijelaskan. Dengan demikian, siswa akan pasif dan apa yang didengarkan oleh siswa mengenai materi yang dipelajari, belum tentu secara optimal dapat diserap dan dimengerti. Keterlibatan siswa dalam pembelajaran tentu saja akan berdampak berbeda dengan hal demikian.

 

  1. 2.      Paradigma baru belajar dan pembelajaran

Mengingat bahwa siswa adalah sesuatu yang aktif dan unik serta mampu memberdayakan dirinya sendiri jika difasilitasi secara tepat. Paham modern ini justru menyarankan penerapan belajar dan pembelajaran yang berpusat pada siswa atau “student centered” dan salah satu kemasan model belajar dan pembelajarannya adalah cooperativelearning yang menurut Lie mengandung gagasan-gagasan sebagai berikut (Gintings, 2010:215):

  1. Pengetahuan ditemukan, dibentuk dan dikembangkan oleh siswa.
  2. Siswa membangun pengetahuan secara aktif.
  3. Pengajar perlu berusaha mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa
  4. Pendidikan adalah interaksi pribadi diantara para siswa dan interaksi antar guru dan siswa.

Dengan demikian, guru mengajak siswa untuk mencari dan menemukan sendiri suatu pengetahuan, baik itu baru atau berdasarkan pengalaman masing-masing siswa secara aktif. Di samping itu, guru juga berusaha untuk mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa melalui berbagai kegiatan pembelajaran. Dalam hal ini, perlu adanya interaksi antara guru dengan siswa secara efektif.

  1. 3.      Falsafah Cooperative Learning

Model cooperative learning didasari oleh falsafah bahwa manusia adalah makhluk sosial. Oleh karena itu, model pembelajaran ini tidak mengenal kompetensi antar individu. Model ini juga tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar dengan kecepatan dan iramanya sendiri. Sebaliknya, model ini menekankan kerjasama atau gotongroyong sesama siswa dalam mempelajari materi pelajaran. Ada dua kemungkinan kerjasama antar siswa dalam kelompok belajarnya (Gintings, 2010:217), yaitu:

  1. Kooperatif

Adalah kerjasama antara siswa yang berbeda tingkatan kemampuannya. Siswa  dengan kemampuan yang lebih tinggi akan menularkan dan mendorong siswa yang lebih rendah kemampuannya.

  1. Kolaboratif

Adalah kerjasama antara siswa dengan kemampuan yang setingkat. Kedua pihak berbagi pengalaman dan pengetahuan sehingga kedua belah pihak yang bekerja sama akan saling mengisi kekurangan sehingga saling melengkapi. Hasilnya, kedua pihak akan meningkatkan penegtahuannya masing-masing.

 

  1. 4.      Tahapan-tahapan dalam menyelenggarakan Cooperative Learning
    1. Mempelajari standar isi dan standar kompetensi siswa dan kurikulum untuk menentukan karakteristik masalah yang sesuai untuk digunakan sebagai bahan belajar dan pembelajaran.
    2. Pelajari tingkat pengetahuan siswa untuk mempertimbangkan kompleksitas persoalan yang akan dijadikan bahan belajar dan pembelajaran.
    3. Kelompokkan siswa ke dalam sejumlah kelompok. Upayakanagar kemampuan anggota kegiatan yang bersifat kelompok heterogen agar terjadi kegiatan yang bersifat kooperatif dan kolaboratif.
    4. Tetapkan kegiatan yang harus dikerjakan oleh setiap kelompok dengan merujuk kepada hasil analisis kurikulum dan tingkat kemampuan siswa
    5. Lakukan penyusunan kelas meliputi penempatan media dan pengaturan tempat duduk
    6. Beri pengkondisian awal kepada siswa sebelum kegiatan kelompok dimulai meliputi:
      1. Perlunya kerjasama
      2. Apa yang harus dikerjakan oleh setiap kelompok
      3. Bagaimana mereka melakukan kegiatan
      4. Apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh
      5. Waktu kegiatan
      6. Apa hasil yang harus mereka capai
    7. Siswa melaksanakan kegiatan belajar kelompok dengan mengikuti petunjuk guru. Sementara itu guru berkeliling untuk melakukan supervisi, dan memberikan motivasi agar siswa terlibat secara aktif dalam kegiatan, serta memfasilitasi kebutuhan siswa.
    8. Menutup kegiatan belajar dan pembelajaran dengan menyelenggarakan diskusi tentang hasil kegiatan setiap kelompok dan hasilnya. Dalam kegiatan ini guru berperan sebagai moderator dan sekaligus sebagai penilai.
    9. Guru melakukan penilaian terhadap hasil kegiatan siswa dan memberikan komentar serta pengarahan untuk ditindaklanjuti sebagai kegiatan pengayaan bagi siswa.
    10. D.    Model Pembelajaran Langsung (Direct Learning)

Model pembelajaran langsung menurut Arends (Trianto, 2011 : 29) adalah “Salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah”. Sejalan dengan pengertian tersebut, Widaningsih (2010:150) menyatakan bahwa pengetahuan prosedural yaitu pengetahuan mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu, sedangkan pengetahuan deklaratif, yaitu pengetahuan tentang sesuatu.   Sehingga model pembelajaran yang menggunakan pendekatan mengajar yang dapat membantu siswa mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh pengetahuan langkah demi langkah disebut model pengajaran langsung (direct intruction).

Model pengajaran langsung (direct instruction) dilandasi oleh teori belajar perilaku yang berpandangan bahwa belajar bergantung pada pengalaman termasuk pemberian umpan balik. Satu penerapan teori perilaku dalam belajar adalah pemberian penguatan. Umpan balik kepada siswa dalam pembelajaran merupakan penguatan yang merupakan penerapan teori perilaku tersebut.

     Guru yang menggunakan model pengajaran langsung tersebut bertanggung jawab dalam mengidentifikasi tujuan pembelajaran,   struktur materi, dan keterampilan dasar yang akan diajarkan. Kemudian menyampaikan pengetahuan kepada siswa, memberikan pemodelan/demonstrasi, memberikan kesempatan pada siswa untuk berlatih menerapkan konsep/keterampilan yang telah dipelajari, dan memberikan umpan balik.

 

  1. 1.      Ciri-Ciri

Pembelajaran langsung tidak sama dengan metode ceramah, tetapi ceramah dan resitasi (mengecek pemahaman dengan tanya jawab) berhubungan erat dengan model pembelajaran langsung. Guru berperan sebagai penyampai informasi, dan dalam hal ini guru seyogyanya menggunakan berbagai media yang sesuai, misalnya film, tape recorder,  gambar,  peragaan, dan sebagainya.

Menurut Widaningsih (2010:151), ciri-ciri Pembelajaran Langsung adalah sebagai berikut :

    1. Adanya tujuan pembelajaran dan prosedur penilaian hasil belajar. Guru menginformasikan kepada siswa mengenai tujuan dari pembelajaran serta prosedur penilaian hasil belajar sebelum memulai pembelajaran lebih jauh. Sehingga siswa mempunyai gambaran tentang prosedur pembelajaran yang akan berlangsung.
    2. Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran. Salah satu karakteristik dari suatu model pembelajaran adalah adanya sintaks atau tahapan pembelajaran. Selain harus memperhatikan sintaks, guru yang akan menggunakan pengajaran langsung juga harus memperhatikan variabel-variabel lingkungan lain, yaitu fokus akademik, arahan dan kontrol guru, harapan yang tinggi untuk kemajuan siswa, waktu dan dampak dari pembelajaran
    3. Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang mendukung berlangsung dan berhasilnya pengajaran. Fokus akademik merupakan prioritas pemilihan tugas-tugas yang harus dilakukan siswa selama pembelajaran, aktivitas akademik harus ditekankan. Pengarahan dan kontrol guru terjadi ketika memilih tugas-tugas siswa dan melaksanakan pembelajaran, menentukan kelompok, berperan sebagai sumber belajar selama pembelajaran dan meminimalkan kegiatan non akademik. Kegiatan pembelajaran diarahkan pada pencapaian tujuan sehingga guru memiliki harapan yang tinggi terhadap tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh siswa.
  1. 2.      Tahapan Pembelajaran Langsung

Pembelajaran langsung memiliki pola urutan kegiatan yang sistematis untuk mengetahui kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan oleh guru atau peserta didik, agar pembelajaran langsung tersebut terlaksana dengan baik. Menurut Kardi & Nur (Trianto 2011:31) fase-fase pada model pembelajaran langsung dapat dilihat pada tabel berikut ini:

No

Fase

Peran Guru

1

Menyampaikan Tujuan Pembelajaran dan mempersiapkan siswa

Menjelaskan Tujuan, Materi Prasyarat, memotivasi siswa, dan mempersiapkan siswa

2

Mendemonstrasikan Pengetahuan dan Keterampilan

Mendemonstrasikan keterampilan atau menyajikan informasi tahap demi tahap

3

Membimbing Pelatihan

Guru memberi latihan terbimbing

4

Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik

Mengecek kemampuan siswa dan memberikan umpan balik

5

Memberikan latihan dan penerapan konsep

Mempersiapkan latihan untuk siswa dengan menerapkan konsep yang dipelajari pada kehidupan sehari-hari.

 

Di lain pihak, Slavin (2003) mengemukakan tujuh langkah dalam sintaks pembelajaran langsung, yaitu sebagai berikut.

  • Meginformasikan tujuan pembelajaran dan orientasi pelajaran kepada siswa. Dalam tahap ini guru menginformasikan hal-hal yang harus dipelajari dan kinerja siswa yang diharapkan.
  • Me-review pengetahuan dan keterampilan prasyarat. Dalam tahap ini guru mengajukan pertanyaan untuk mengungkap pengetahuan dan keterampilan yang telah dikuasai siswa.
  • Menyampaikan materi pelajaran. Dalam fase ini, guru menyampaikan materi, menyajikan informasi, memberikan contoh-contoh, mendemontrasikan konsep dan sebagainya.
  • Melaksanakan bimbingan. Bimbingan dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menilai tingkat pemahaman siswa dan mengoreksi kesalahan konsep.
  • Memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih. Dalam tahap ini, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih keterampilannya atau menggunakan informasi baru secara individu atau kelompok.
  • Menilai kinerja siswa dan memberikan umpan balik. Guru memberikan reviu terhadap hal-hal yang telah dilakukan siswa, memberikan umpan balik terhadap respon siswa yang benar dan mengulang keterampilan jika diperlukan.
  • Memberikan latihan mandiri. Dalam tahap ini, guru dapat memberikan tugas-tugas mandiri kepada siswa untuk meningkatkan pemahamannya terhadap materi yang telah mereka pelajari.
  1. 3.      Kelebihan dan Kelemahan

Kelebihan  dan Kelemahan Model Pembelajaran Langsung Widaningsih, Dedeh (2010 : 153) adalah sebagai berikut :

Kelebihan model pembelajaran langsung:

1. Relatif banyak materi  yang bisa tersampaikan.

2. Untuk hal-hal yang sifatnya prosedural, model ini akan relatif mudah diikuti.

Kekurangan atau kelemahan model pembelajaran langsung adalah jika terlalu dominan pada ceramah, maka siswa merasa cepat bosan. Pembelajaran langsung akan terlaksana dengan baik apabila guru mempersiapkan materi yang akan disampaikan dengan baik pula dan sistematis, sehingga tidak membuat peserta didik cepat bosan dengan materi yang dipelajari.

RANGKUMAN

Dalam model pembelajaran Problem-based Learning, belajar dan pembelajaran diorientasikan kepada pemecahan berbagai masalah terutama yang terkait dengan aplikasi materi pelajaran di dalam kehidupan nyata. Selama siswa melakukan kegiatan memecahkan masalah, guru berperan sebagai tutor yang akan membantu mereka mendefinisikan apa yang mereka tidak tahu dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memahami dan atau memecahkan masalah (Newbledan Cannon dalam Gintings, 2010:210). Dalam model ini tahapan pemecahan masalah dibedakan menjadi dua, yaitu pemecahan masalah secara akademik dan pemecahan masalah secara praktis.

Model cooperative learning didasari oleh falsafah bahwa manusia adalah makhluk sosial. Oleh karena itu, model pembelajaran ini tidak mengenal kompetensi antar individu. Model ini juga tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar dengan kecepatan dan iramanya sendiri. Sebaliknya, model ini menekankan kerjasama atau gotongroyong sesama siswa dalam mempelajari materi pelajaran. Ada dua kemungkinan kerjasama antar siswa dalam kelompok belajarnya (Gintings, 2010:217), yaitu: kooperatif dan kolaboratif. Sedangkan sintaks dalam model pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut: (1) menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, (2) menyajikan informasi, (3) mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar, (4) membimbing kelompok bekerja dan belajar, dan (5) evaluasi.

Model pengajaran langsung (direct instruction) dilandasi oleh teori belajar perilaku yang berpandangan bahwa belajar bergantung pada pengalaman termasuk pemberian umpan balik. Satu penerapan teori perilaku dalam belajar adalah pemberian penguatan. Umpan balik kepada siswa dalam pembelajaran merupakan penguatan yang merupakan penerapan teori perilaku tersebut. Guru yang menggunakan model pengajaran langsung tersebut bertanggung jawab dalam mengidentifikasi tujuan pembelajaran,   struktur materi, dan keterampilan dasar yang akan diajarkan. Kemudian menyampaikan pengetahuan kepada siswa, memberikan pemodelan/demonstrasi, memberikan kesempatan pada siswa untuk berlatih menerapkan konsep/keterampilan yang telah dipelajari, dan memberikan umpan balik.


 

SOAL

  1. Apa yang mendasari model pembelajaran problem based learning? Jelaskan!
  2. Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia siswa SMA, ada materi mengenai resensi sebuah karya sastra, baik itu novel, drama, puisi, atau pun cerpen, menurut pendapat Anda, model pembelajaran apa yang paling sesuai digunakan guru dalam pembelajaran tersebut? Jelaskan beserta buktinya!
  3. Buatlah rancangan pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif pada pembelajaran Bahasa Indonesia!
  4. Jelaskan apa yang Anda ketahui tentang model pembelajaran inovatif dan direct learning!
  5. Sebutkan sintaks atau tahapan dalam penerapan model pembelajaran berbasis masalah atau problem based learning!
  6. Bagaimana perbedaan antara kooperatif dan kolaboratif? Jelaskan!
  7. Jelaskan tahapan pemecahan masalah berdasarkan model pembelajaran problem based learning disertai dengan contohnya!
  8. Dalam pembelajaran kooperatif, guru membagi siswa dalam suatu kelompok dan membimbing untuk bekerja dan belajar. Bagaimana sikap yang harus dilakukan seorang guru apabila dalam suatu kelompok tersebut ada anggota yang dimau bekerjasama untuk memecahkan masalah? Jelaskan!
  9. Pembelajaran langsung adalah pembelajaran dimana guru menyajikan suatu materi atau menyampaikan informasi. Kelemahan dari model ini adalah siswa mudah bosan dalam pembelajaran. Model pembelajaran apakah yang paling sesuai untuk diterapkan bersama dengan pembelajaran langsung untuk mengatasi kelemahan tersebut? Jelaskan!
  10. Model pembelajaran langsung menurut Arends (Trianto, 2011 : 29) adalah “Salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah”. Jelaskan yang dimaksud dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural! Berikan contohnya!

 

 

Sumber:

Gintings, Abdorrakhman. 2010. Esensi Praktis: Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Humaniora.

Trianto. 2011. Model-model pembelajaran inovatif berorientasi konstruktivitis. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Widaningsih, Dedeh. 2010. Perencanaan Pembelajaran matematika. Bandung: Rizqi Press.

 

Evaluasi Belajar dan Pembelajaran

EVALUASI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

Oleh: Efilia Agus Anggraini

  1. A.    Pendahuluan

Ada pepatah yang mengatakan bahwa apabila kita menanam, maka suatu saat kita akan memanennya. Artinya, apapun yang kita lakukan akan menghasilkan suatu hasil atau dampak. Dan setiap seseorang yang melakukan kegiatan akan selalu ingin tahu hasil dari kegiatan yang dilakukan. Entah itu kegiatan yang bersifat rutinitas ataupun kegiatan yang dilakukan hanya untuk mengisi waktu luang. Hasil itu dapat berupa baik atau pun buruk. Terlepas dari itu, semua kegiatan mempunyai hasil masing-masing, baik itu kegiatan dibidang ekonomi, bisnis, industri, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Tanpa terkecuali, bidang pendidikan. Pendidik dan peserta didik, siswa dan guru, merupakan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Mereka juga ingin mengetahui proses dan hasil yang diperoleh dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan.

Untuk menyediakan informasi tentang baik atau buruknya proses dan hasil kegiatan pembelajaran, maka seorang guru harus menyelenggarakan evaluasi. Kegiatan evaluasi yang dilakukan guru mencakup evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran sekaligus. Di sisi lain, evaluasi merupakan kegiatan yang tak terelakkan dalam setiap kegiatan atau proses pembelajaran. Dengan kata lain, kegiatan evaluasi merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran atau pendidikan (Dimyati, 2009:189).

Dalam prosesnya, ada beberapa cara yang dapat dilakukan guru untuk mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran. Misalnya, guru memberikan ulangan atau pun kuis pada setiap materi yang telah selesai dipelajari. Di samping itu, evaluasi guru juga dapat dilakukan dengan cara pengamatan guru secara langsung pada saat pembelajaran sedang berlangsung. Namun, tentu terdapat syarat-syarat dan prosedur tertentu dalam evaluasi ini agar dicapai hasil yang akurat dan valid.

Sebagai seorang calon guru, kita perlu mengetahui evaluasi hasil belajar dan pembelajaran lebih dalam lagi sebagai bekal awal untuk terjun di dunia pendidikan. Di samping itu, guru akan dianggap memiliki kualifikasi kemampuan mengevaluasi, apabila guru mampu menjawab mengapa, apa, dan bagaimana evaluasi dalam kegiatan pembelajaran atau pendidikan.

 

 

  1. B.     Pengertian Evaluasi

Davies mengemukakan bahwa evaluasi merupakan proses sederhana memberikan atau menetapkan nilai kepada sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk-kerja, proses, orang, objek, dan masih banyak yang lain. Sedangkan Wand dan Brown mengemukakan bahwa evaluasi merupakan suatu proses untukmenentukan nilai dari sesuatu. Pengertian evaluasi lebih dipertegas lagi, dengan batasan sebagai proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan batasan-batasan sebelumnya, dapat kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu. Berdasarkan batasan-batasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa evaluasi secaar umum dapat diartikan sebagai proses sistematis untuk menentukan nilai sesuatu (tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk-kerja, proses, orang, objek, dan yang lain) berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian (Dimyati, 2009:191).

Walaupun tidak semua proses evaluasi melalui pengukuran, seorang calon guru atau guru harus mengetahui tentang pengukuran. Selain itu perlu dipahami pula oleh setiap calon guru atau guru perihal penilaian. Pengukuran lebih menekankan kepada proses penentuan kuantitas sesuatu melalui membandingkan dengan satuan ukuran tertentu (Arikunto dalam Dimyati, 2009:191). Sedangkan penilaian menekankan kepada proses pembuatan keputusan terhadap sesuatu ukuran baik-bauruk yang bersifat kualitatif. Dari batasan pengukuran dan penilaian, dapat ditandai adanya perbedaan yang nyata antara keduanya. Pengukuran dilakukan apabila kegiatan penilaian membutuhkannya, bila kegiatan penilaian tidak membutuhkannya maka kegiatan pengukuran tidak perlu dilakukan. Hasil pengukuran yang bersifat kuantitatif akan diolah dan dibandingkan dengan kriteria, hingga didapatkan hasil penilaian yang bersifat kualitatif (Dimyati, 2009:191).

  1. C.    Kedudukan Evaluasi dalam Proses Pendidikan

Proses pendidikan merupakan proses pemanusiaan manusia, dimana di dalamnya terjadi proses membudayakan dan memberadabkan manusia. Agar terbentuk manusia yang berbudaya dan beradab, maka diperlukan transformasi kebudayaan dan peradaban.Transformasi dalam proses pendidikan adalah proses untuk membudayakan dan memberadabkan siswa. Lembaga pendidikan merupakan tempat terjadinya transformasi. Keberhasilan transformasi untuk menghasilkan keluaran seperti yang diharapkan dipengaruhi dan atau ditentukan oleh bekerjanya komponen atau unsur yang ada dalam lembaga pendidikan. Unsur-unsur transformasi dalam proses pendidikan, meliputi:

  1. Pendidik dan personal lainnya;
  2. Isi pendidikan;
  3. Teknik;
  4. Sistem evaluasi;
  5. Sarana pendidikan, dan
  6. Sistem administrasi.

Untuk mengetahui efisiensi dan efektivitas transformasi dalam proses pendidikan perlu dilaksanakan evaluasi terhadap bekerjanya unsur-unsur transformasi.

Keluaran dalam proses pendidikan adalah ssiwa yang semakin berbudaya dan beradab sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Untuk mengetahui dan menetapkan apakah siswa telah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan lembaga pendidikan atau belum, diperlukan kegiatan evaluasi (Dimyati, 2009:193).

  1. D.    Syarat-Syarat Umum Evaluasi
    1. 1.      Kesahihan atau Validitas

Kesahihan atau validitas adalah ketepatan evaluasi mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi. Kesahihan dapat diterjemahkan pula sebagai kelayakan interpretasi terhadap hasil dari suatu instrumen evaluasi atau tes, dan tidak terhadap instrumen itu sendiri (Gronlund dalam Dimyati, 2009:194). Kesahihan instrumen evaluasi diperoleh melalui hasil pemikiran dan dari hasil pengalaman. Dari dua cara tersebut, diperoleh empat macam kesahihan yang terdiri dari:

  1. Validitas ramalan (predictive validity)

Validitas ramalan dapat diartikan sebagai ketepatan dari suatu alat pengukur ditinjau dari kemampuan tes tersebut untuk meramalkan prestasi yang dicapai kemudian.

  1. Validitas bandingan (concurrent validity)

Validitas bandingan adalah ketepatan dari suatu tes terlihat dari korelasinya terhadap kecakapan yang telah dimiliki saat ini secara nyata. Apabila validitas ramalan melihat hubungannya dengan masa yang akan datang, validitas bandingan melihat hubungannya dengan masa sekarang.

  1. Validitas isi (content validity)

Validitas isi diartikan sebagai ketepatan suatu tes ditinjau dari isi tes tersebut. Suatu tes hasil belajar dikatakan valid menurut validitas isi ini bilamana materi tes tersebut betul-betul dapat mewakili secara menyeluruh (representatif) dari bahan-bahan pelajaran yang diberikan.

  1. Validitas konstruk (construct validity)

Validitas konstruk dapat diartikan sebagai ketepatan suatu tes ditinjau dari susunan (konstruksi) tes tersebut. Untuk mengetahui apakah tes yang kita susun memenuhi syarat-syarat validitas konstruk ini, maka kita harus membandingkan susunan tes tersebut dengan syarat-syarat penyusunan tes yang baik.

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kesahihan hasil evaluasi meliputi:

  1. Faktor instrumen evaluasi itu sendiri.
  2. Faktor-faktor administrasi evaluasi dan penskoran, juga merupakan faktor-faktor yang mempunyai suatu pengaruh yang mengganggu kesahihan interpretasi hasil evaluasi.
  3. Faktor-faktor dalam respons-respons siswa.
  4. 2.      Keterandalan atau Reliabilitas

Keterandalan evaluasi berhubungan dengan masalah kepercayaan, yakni tingkat kepercayaan bahwa suatu instrumen evaluasi mampu memberikan hasil yang tepat (Arikunto, 1990:81). Keterandalan dapat kita artikan sebagai tingkat kepercayaan keajegan hasil evaluasi yang diperoleh dari suatu instrumen evaluasi. Keterandalan berhubungan erat dengan kesahihan, karena keterandalan menyediakan keajegan yang memungkinkan terjadinya kesahihan (Arikunto, 1990:81).

Nurkancana dan Sumartana (Aunurrahman, 2012:218) menjelaskan beberapa cara yang dapat di pergunakan untuk mencari taraf reliabilitas suatu tes, yakni:

  1. Teknik Ulangan

Teknik ulangan adalah suatu cara yang ditempuh untuk mencari reliabilitas suatu tes dengan cara memberikan tes tersebut kepada sekelompok anak dalam dua kesempatan yang berlainan.

  1. Teknik Bentuk Paralel

Pada teknik bentuk paralel digunakan dua bentuk tes yang sejenis (tetapi tidak identik), baik mengenai isinya, proses mental yang diukur, tingkat kesukaran maupun jumlah item. Kedua tes ini diberikan kepada kelompok subyek yang sama tanpa adanya rentang waktu. Skor yang diperoleh dari kedua tes tersebut selanjutnya dikorelasikan.

  1. Teknik Belah Dua

Dalam teknik ini, tes yang telah diberikan kepada kelompok subyek dibelah menjadi dua bagian. Tiap-tiap bagian diberikan skor secara terpisah. Unumnya  ada dua prosedur yang dapat dipergunakan untuk membelah dua suatu tes, yaitu:

  1. Prosedur ganjil genap, artinya seluruh item yang bernomor ganjil dikumpulkan menjadi satu kelompok, dan seluruh item yang bernomor genap menjadi kelompok lain.
  2. Prosedur secara random, misalnya dengan menggunakan undian, atau dengan menggunakan tabel bilangan random.

Korelasi yang diperoleh dari kedua belahan itu menunjukkan reliabilitas tes. Sedangkan Gronlund (Dimyati, 2009:196) mengemukakan adanya empat faktor yang mempengaruhi keterandalan, yaitu sebagai berikut:

  1. Panjang tes. Panjang tes berhubungan dengan banyaknya butir tes, pada umumnya lebih banyak butir tes lebih tinggi keterandalan evaluasi.
  2. Sebaran skor. Koefisien keterandalan secara langsung dipengaruhi oleh sebaran skor dalam kelompok tercoba. Dengan kata lain, besarnya sebaran skor akan membuat perkiraan keterandalan yang lebih tinggi akan terjadi menjadi kenyataan.
  3. Tingkat kesulitan tes. Tes acuan norma yang paling mudah atau paling sukar untuk anggota-anggota kelompok yang mengerjakan, cenderung menghasilkan skor tes keterandalan yang rendah. Ini disebabkan antara hasil tes yang mudah dan yang sulit keduanya dalam satu sebaran skor yang terbatas.
  4. Objektivitas. Objektivitas suatu tes menunjukkan kepada tingkat skor kemampuan yang sama (yang dimiliki oleh siswa satu dengan siswa yang lain) memperoleh hasil yang sama dalam mengerjakan tes.
  5. 3.      Kepraktisan

Dalam memilih tes dan instrumen evaluasi yang lain, kepraktisan merupakan syarat yang tidak dapat diabaikan. Kepraktisan evaluasi terutama dipertimbangkan pada saat memilih tes atau instrumen evaluasi lain yang dipublikasikan oleh suatu lembaga. Kepraktisan evaluasi dapat diartikan sebagai kemudahan-kemudahan yang ada pada instrumen evaluasi baik dalam mempersiapkan, menggunakan, menginterpretasi atau memperoleh hasil, maupun kemudahan dalam menyimpannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepraktisan instrumen evaluasi meliputi:

  1. Kemudahan mengadministrasi. Jika instrumen evaluasi diadministrasikan oleh guru atau orang lain dengan kemampuan yang terbatas, kemudian pengadministrasian adalah suatu kualitas penting yang diminta dalam instrumen evaluasi.
  2. Waktu yang disediakan untuk melancarkan evaluasi. Kepraktisan dipengaruhi pula oleh faktor waktu yang disediakan untuk melancarkan evaluasi.
  3. Kemudian menskor. Secara tradisional, hal yang membosankan dan aspek yang mengganggu dalam melancarkan evaluasi adalah penskoran.
  4. Kemudahan interpretasi dan aplikasi. Dalam analisis terakhir, keberhasilan atau kegagalan evaluasi ditentukan oleh penggunaan hasil evaluasi.
  5. Tersedianya bentuk instrumen evaluasi yang ekuivalen atau sebanding. Untuk berbagai kegunaan pendidikan, bentuk-bentuk ekuivalen untuk tes yang sama seringkali diperlukan. Instrumen evaluasi yang sebanding adalah instrumen evaluasi yang memiliki kemungkinan dibandingkan makna dari skala skor umum yang dimiliki.
  6. E.     Fungsi dan Tujuan Evaluasi

Secara umum evaluasi bertujuan untuk melihat sejauhmana suatu program atau suatu kegiatan tertentu dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan secara spesifik evaluasi memiliki banyak tujuan dan manfaat. Karena itu menurut Reece dan Walker (Aunurrahman, 2012:209) terdapat alasan mengapa evaluasi harus dilakukan, yaitu:

  1. Memperkuat kegiatan belajar
  2. Menguji pemahaman dan kemampuan siswa
  3. Memastikan pengetahuan prasyarat yang sesuai
  4. Mendukung terlaksananya kegiatan pembelajaran
  5. Memotivasi siswa
  6. Memberi umpan balik bagi siswa
  7. Memeberi umpan balik bagi guru
  8. Memelihara standar mutu
  9. Mencapai kemajuan proses dan hasil belajar
  10. Memprediksi kinerja pembelajaran selanjutnya
  11. Menilai kualitas belajar

Pelaksanaan evaluasi dalam pendidikan mempunyai manfaat yang luas, tidak sekadar mengukur keberhasilan proses belajar akan tetapi dapat memberikan manfaat dalam berbagai kegiatan lain baik bagi guru maupun bagi siswa (Nurkancana dalam Aunurrahman, 2012: 211). Beberapa fungsi atau manfaat evaluasi pendidikan dan pembelajaran tersebut adalah untuk:

  1. Mengetahui taraf kesiapan anak untuk menempuh suatu pendidikan tertentu.
  2. Mengetahui seberapa jauh hasil yang telah dicapai dalam proses pendidikan.
  3. Mengetahui apakah suatu mata pelajaran yang kita ajarkan dapat dilanjutkan dengan bahan yang baru ataukah harus mengulang pelajaran-pelajaran yang telah lampau.
  4. Mendapatkan bahan-bahan informasi dalam memberikan bembingan tentang jenis pendidikan tentang jenis pendidikan dan jabatan yang sesuai untuk siswa.
  5. Mendapatkan bahan-bahan informasi apakah seorang anak dapat dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi atau harus mengulang di kelas semula.
  6. Membandingkan apakah prestasi yang dicapai anak sudah sesuai dengan kapasitasnya atau belum.
  7. Untuk menafsirkan apakah seorang anak telah cukup matang untuk kita lepaskan ke dalam masyarakat atau untuk melanjutkan ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
  8. Untuk mengadakan seleksi.
  9. Untuk mengetahui taraf efisiensi metode yang dipergunakan dalam lapangan pendidikan.

 

  1. F.     Jenis-Jenis Evaluasi
  2. Evaluasi Formatif

Evaluasi formatif sering diartikan sebagai kegiatan evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir pembahasan suatu pokok bahasan. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui sejauh mana suatu proses pembelajaran telah berjalan sebagaimana yang direncanakan. Winkel menyatakan bahwa yang dimaksud dengan evaluasi formatif adalah penggunaan tes-tes selama proses pembelajaran yang masih berlangsung, agar siswa dan guru memperoleh informasi (feedback) mengenai kemajuan yang telah dicapai. Indikator utama keberhasilan atau kemajuan siswa dalam evaluasi formatif ini adalah penguasaan kemampuan yang telah dirumuskan dalam rumusan tujuan instruksional khusus (TIK) yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan kata lain, evaluasi formatif dilaksanakan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan telah tercapai. Dari hasil evaluasi ini akan diperoleh gambaran siapa saja yang telah berhasil dan siapa yang dianggap belum berhasil untuk selanjutnya diambil tindakan-tindakan yang tepat (Aunurrahman, 2012:221)

  1. Evaluasi Sumatif

Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir satu satuan waktu yang didalamnya tercakup lebih dari satu pokok bahasan, dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana peserta didik telah dapat berpindah dari suatu unit ke unit berikutnya. Winkel mendefinisikan evaluasi sumatif sebagai penggunaan tes-tes pada akhir suatu periode pengajaran tertentu, yang meliputi beberapa atau semua unit pelajaran yang diajarkan dalam semester, bahkan setelah selesai pembahasan suatu bidang studi (Aunurrahman, 2012:222)

  1. Diagnostik

Evaluasi diagnostik adalah evaluasi yang digunakan untuk mengetahui kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada siswa sehingga dapat diberikan perlakuan yang tepat. Evaluasi diagnostik dapat dilakukan dalam beberapa tahapan, baik pada tahap awal, selama proses, amupun akhir pembelajaran. Pada tahap awal dilakukan terhadap calon siswa sebagai input. Dalam hal ini evaluasi diagnostik dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal atau pengetahuan prasyarat yang harus dikuasai siswa. Pada tahap proses evaluasi ini diperlukan untuk mengetahui bahan-bahan pelajaran mana yang masih belum dikuasai dengan baik, sehingga guru dapat memberi bantuan secara dini agar siswa tidak tertinggal terlalu jauh. Sementara pada tahap akhir evaluasi diagnostik ini untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa atas seluruh materi yang telah dipelajarinya (Aunurrahman, 2012:222)

 

  1. G.    Pendekatan Evaluasi Pembelajaran

Untuk mengetahui seberapa tinggi prestasi belajar yang dicapai oleh siswa, maka guru juga perlu memahami cara yang dapat dipergunakan untuk mengkonservasikan atau mengubah skor mentah menjadi skor standar. Cara pertama, ialah dengan jalan membandingkan skor yang diperoleh oleh seseorang dengan suatu standar yang absolut. Cara kedua ialah dengan jalan membandingkan skor seseorang dengan skor yang diperoleh oleh orang lain dalam tes tersebut. Cara pertama dinamakan penggunaan norma absolut atau disebut juga dengan Penilaian Acuan Patokan (PAP), sedangkan cara kedua dinamakan Penilaian Acuan Normatif (PAN). Kedua cara tersebut disebut juga strategi pengukuran yang mengarah pada dua perbedaan tujuan substansial, yaitu pengukuran acuan normatif (NRM) yang berusaha menetapkan status relatif, dan pengukuran acuan kriteria (CRM) yang berusaha menetapkan status absolut.

Penilaian Acuan Patokan  merupakan norma penilaian yang ditetapkan secara absolut oleh guru atau pembuat tes, berdasarkan atas jumlah soal, bobot masing-masing soal serta prosentase penguasaan yang dipersyaratkan (Nurkancana dan Sumartana dalam Aunurrahman, 2012:223). Tujuan penggunaan tes acuan patokan berfokus pada kelompok perilaku siswa yang khusus. Sedangkan norma relatif yang disebut juga norma aktual, norma empiris atau dinamakan juga Penilaian Acuan Norma (PAN), adalah suatu norma yang disusun secara relatif berdasarkan distribusi skor yang dicapai oleh peserta tes. Pada pendekatan acuan norma, standar performan yang digunakan bersifat relatif. Artinya tingkat performan seorang siswa ditetapkan berdasarkan pada posisi relatif dalam kelompok.

PAN tepat dipergunakan bilamana distribusi kecakapan atau kemampuan kelompok anak yang diberikan tes mengikuti hukum kurve normal. Tetapi bilamana distribusi kecakapan anak-anak yang mengikuti tes tidak mengikuti hukum distribusi normal, maka penggunaan norma relatif tidak dapat memberikan gambaran yang obyektif (Aunurrahman, 2012:225)

 

  1. H.    Evaluasi Hasil Belajar
    1. 1.      Fungsi dan Tujuan Evaluasi Hasil Belajar

Berdasarkan pengertian evaluasi hasil belajar kita dapat menengarai tujuan utamanya adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti suatu kegiatan pembelajaran, dimana tingkat keberhasilan tersebut kemudian ditandai dengan skala nilai berupa huruf atau kata atau simbol. Hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar pada akhirnya difungsinya dan titujukan untuk keperluan berikut ini:

  1. Untuk diagnostik dan pengembangan. Maksudnya adalah penggunaan hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar sebagai dasar pendiagnosisan kelemahan dan keunggulan siswa beserta sebab-sebabnya (Arikunto, 1990:10).
  2. Untuk seleksi. Hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar seringkali digunakan sebagai dasar untuk menentukan siswa-siswa yang paling cocok untuk jenis jabatan atau jenis pendidikan tertentu. Dengan demikian, hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar digunakan untuk seleksi (Arikunto, 1990:9)
  3. Untuk kenaikan kelas. Menentukan apakah seorang siswa dapat dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi atau tidak, memerlukan informasi yang dapat mendukung keputusan yang dibuat guru (Dimyati, 2009:201).
  4. Untuk penempatan. Agar siswa dapat berkembang sesuai dengan tingkat kemampuan dan potensi yang mereka miliki, maka perlu dipikirkan ketepatan penempatan siswa pada kelompok yang sesuai (Arikunto, 1990:10).
  5. 2.      Sasaran Evaluasi Hasil Belajar

Sebagai kegiatan yang berupaya untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, maka evaluasi hasil belajar memiliki sasaran berupa ranah-ranah yang terkandung dalam tujuan. Tanah tujuan pendidikan berdasarkan hasil belajar siswa secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni: ranah kognitif, ranah afektif, ranah psikomotorik (Dimyati, 2009:201).

Mengingat ranah-ranah yang terkandung dalam suatu tujuan pendidikan merupakan sasaran evaluasi hasil belajar, maka kita perlu mengenalnya secara lebih terinci. Pengenalan terhadap ranah-ranah tujuan pendidikan akan sangat membantu pada saat memilih data atau menyusun instrumen evaluasi hasil belajar (Dimyati, 2009:202)

  1. 3.      Prosedur Evaluasi Hasil Belajar

Berdasarkan pengertian evaluasi hasil belajar kita mendapatkan bahwa evaluasi hasil belajar merupakan suatu proses yang sistematis. Agar proses evaluasi hasil belajar dapat diadministrasikan atau dilaksanakan oleh seorang penilai, maka ada beberapa tahapan atau langkah kegiatan evaluasi hasil belajar yang perlu dilalui seorang penilai meliputi: persiapan, penyusunan alat ukur, pelaksanaan pengukuran, pengolahan hasil pengukuran, penafsiran hasil pengukuran, dan pelaporan dan penggunaan hasil evaluasi (Dimyati, 2009:209)

 

 

 

 

 

Rangkuman

Berdasarkan batasan-batasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa evaluasi secaar umum dapat diartikan sebagai proses sistematis untuk menentukan nilai sesuatu (tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk-kerja, proses, orang, objek, dan yang lain) berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian (Dimyati, 2009:191).

Transformasi dalam proses pendidikan adalah proses untuk membudayakan dan memberadabkan siswa. Lembaga pendidikan merupakan tempat terjadinya transformasi. Keberhasilan transformasi untuk menghasilkan keluaran seperti yang diharapkan dipengaruhi dan atau ditentukan oleh bekerjanya komponen atau unsur yang ada dalam lembaga pendidikan. Unsur-unsur transformasi dalam proses pendidikan, meliputi:

a)             Pendidik dan personal lainnya;

b)             Isi pendidikan;

c)             Teknik;

d)            Sistem evaluasi;

e)             Sarana pendidikan, dan

f)              Sistem administrasi.

Disamping itu, adapun syarat-syarat umum evaluasi, diantaranya:

  1. Kesahihan atau validitas
  2. Keterandalan atau reliabilitas
  3. Kepraktisan

Secara umum evaluasi bertujuan untuk melihat sejauhmana suatu program atau suatu kegiatan tertentu dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan secara spesifik evaluasi memiliki banyak tujuan dan manfaat. Karena itu menurut Reece dan Walker (Aunurrahman, 2012:209). Sedangkan jenis-jenis evaluasi adalah sebagai berikut:

  1. Evaluasi Formatifsering diartikan sebagai kegiatan evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir pembahasan suatu pokok bahasan. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui sejauh mana suatu proses pembelajaran telah berjalan sebagaimana yang direncanakan.
  2. Evaluasi Sumatifadalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir satu satuan waktu yang didalamnya tercakup lebih dari satu pokok bahasan, dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana peserta didik telah dapat berpindah dari suatu unit ke unit berikutnya.
  3. Diagnostikadalah evaluasi yang digunakan untuk mengetahui kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada siswa sehingga dapat diberikan perlakuan yang tepat.

Sebagai kegiatan yang berupaya untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, maka evaluasi hasil belajar memiliki sasaran berupa ranah-ranah yang terkandung dalam tujuan. Tanah tujuan pendidikan berdasarkan hasil belajar siswa secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni: ranah kognitif, ranah afektif, ranah psikomotorik (Dimyati, 2009:201). Beberapa tahapan atau langkah kegiatan evaluasi hasil belajar yang perlu dilalui seorang penilai meliputi: persiapan, penyusunan alat ukur, pelaksanaan pengukuran, pengolahan hasil pengukuran, penafsiran hasil pengukuran, dan pelaporan dan penggunaan hasil evaluasi

 

 

SOAL:

  1. Jelaskan pengertian evaluasi!
  2. Sebutkan dan jelaskan syarat-syarat evaluasi!
  3. Menurut pendapat anda, apakah semua pendidik wajib melakukan evaluasi pembelajaran? Jelaskan disertai bukti-bukti yang mendukung!
  4. Dalam pendekatan evaluasi pembelajaran, terdapat dua cara yang dapat dilakukan, yaitu PAP dan PAN. Jelaskan perbedaan diantara keduanya!
  5. Bagaimana ranah-ranah yang terkandung dalam tujuan pendidikan yang merupakan sasaran evaluasi?
  6. Jelaskan secara jelas prosedur evaluasi hasil belajar dalam pembelajaran bahasa Indonesia! Berikan contohnya!
  7. Jenis-jenis evaluasi ada tiga, yakni evaluasi formatif, evaluasi sumatif, dan evaluasi diagnostik. Jelaskan hubungan antara evaluasi yang satu dengan evaluasi yang lainnya!
  8. Menurut Nurkancana dan Sumartana (Aunurrahman, 2012:218) ada beberapa cara yang dapat di pergunakan untuk mencari taraf reliabilitas suatu tes. Sebut dan jelaskan!
  9. Apa tujuan dan fungsi dari evaluasi hasil belajar?
  10. Instrumen-instrumen apa saja yang diperlukan dalam evaluasi pembelajaran?

 

Sumber:

Aunurrahman. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: ALFABETA.

Dimyati, dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Arikuntoro, Suharsimi. 1990. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

 

 

 

CTL

Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)

Oleh: Efilia Agus Anggraini

  1. A.      Pendahuluan

Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekspositori. Sedangkan, pendekatan yang berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran discovery dan inkuiri serta strategi pembelajaran induktif (Sanjaya, 2008:127). Salah satunya adalah pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning).

Pembelajaran kontekstual adalah salah satu pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa dan mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dengan situasi yang sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, guru menghubungkan antara materi akuntansi siswa SMK dengan penerapan teori akuntansi dalam perkantoran ataupun ilmu akuntansi yang digunakan untuk mengelolah sebuah toko.

Sebagai pendekatan pembelajaran, CTL memiliki kekhasan ataupun karakteristik yang membedakannya dengan pendekatan lainnya. Di samping itu, CTL mempunyai tujuan yang tidak jauh berbeda dengan pendekatan lain. Salah satunya adalah untuk tercapainya hasil pembelajaran yang maksimal. Pengetahuan tentang pendekatan CTL sangat bermanfaat bagi guru atau calon guru karena pendekatan CTL mudah diaplikasikan dalam beberapa pembelajaran. Oleh karena itu, guru perlu untuk mengetahui tentang pendekatan CTL. Meskipun dalam praktiknya dapat diaplikasikan dengan pendekatan lainnya.

 

  1. B.       Pengertian

Menurut Nurhadi dalam Sugiyanto (2007) CTL (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa. 

Menurut Jonhson dalam Sugiyanto (2007) CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan untuk menolong para siswa melihat siswa melihat makna didalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subyek-subyek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka. 

Jadi pengertian CTL dari pendapat para tokoh-tokoh diatas dapat kita simpulkan bahwa CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkanya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.

 

  1. C.      Asas-Asas  CTL

Asas-Asas Dalam Pembelajaran CTL:

CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 asas. Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Sering kali asas ini disebut juga komponen-komponen CTL. Asas-asas tersebut adalah:

  1. Konstruktivisme

Adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut John Piaget (dalam Sanjaya, 2011:118), pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari obyek semata, akan tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subyek yang menangkap objek yang diamatinya. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari dari luar akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Lebih jauh, Piaget menyatakan hakikat pengetahuan sebagai berikut:

  1. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
  2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
  3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang (Sanjaya, 2011:118).

Asumsi itu yang kemudian melandasi CTL. Pembelajaran melalui CTL pada dasarnya mendorong agar siswa dapat mengonstruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman. Pengetahuan hanya akan fungsional mana kala dibangun oleh individu. Pengetahuan yang hanya diberikan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna.

  1. Inkuiri

Artinya, proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah, sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya. Berbagai topik dalam setiap mata pelajaran dapat dilakukan melalui proses inkuiri. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu:

  1. Merumuskan masalah;
  2. Mengajukan hipotesis;
  3. Mengumpulkan data;
  4. Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan;
  5. Membuat kesimpulan(Sanjaya, 2011:119)

Penerapan asas ini dalam pembelajaran CTL, dimulai dari adanya kesadaran siswa akan masalah yang jelas yang ingin dipecahkan.

  1. Bertanya (Questioning)

Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk:

  1. Menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan materi pelajaran;
  2. Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar;
  3. Merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu;
  4. Memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan; dan
  5. Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu (Sanjaya, 2011:120).

Dalam setiap tahapan dan proses pembelajaran kegiatan bertanya hampir selalu digunakan. Oleh karena itu, kemampuan guru untuk mengembangkan teknik-teknik bertanya sangat diperlukan.

  1. Masyarakat Belajar (Learning Comunity)

Konsep masyarakat belajar dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar secara formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, antarteman, antarkelompok; yang sudah tahu memberi tahu pada yang belum tahu, yang pernah memiliki pengalaman membagi pengalamannya pada orang lain. Inilah hakikat dari masyarakat belajar, masyarakat yang saling membagi.

Dalam kelas CTL, penerapan asas masyarakat belajar dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari bakat dan minatnya(Sanjaya, 2011:121).

  1. Pemodelan (Modeling)

Adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa.

Proses modeling, tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga guru memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan.

Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoritis-abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme.

  1. Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses reflesi, pengalaman belajar itu akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya. Bisa terjadi melalui proses refleksi siswa akan memperbarui pengetahuan yang telah dibentuknya, atau menambah khazanah pengetahuannya (Sanjaya, 2011:122).

  1. Penilaian Nyata (Authentic Asessement)

Artinya, proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian nyata diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak; apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa.

Penilaian yang autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara terus-menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar.

 

  1. D.      Tujuan
  2. E.       Langkah dan Contoh Penerapan Pembelajaran CTL
  1. Model pembelajaran CTL ini bertujuan untuk memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari sehingga siswa memiliki pengetahuan atu ketrampilan yang secara refleksi dapat diterapkan dari permasalahan kepermasalahan lainya. 
  2. Model pembelajaran ini bertujuan agar dalam belajar itu tidak hanya sekedar menghafal tetapi perlu dengan adanya pemahaman
  3. Model pembelajaran ini menekankan pada pengembangan minat pengalaman siswa. 
  4. Model pembelajaran CTL ini bertujuan untuk melatih siswa agar dapat berfikir kritis dan terampil dalam memproses pengetahuan agar dapat menemukan dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain 
  5. Model pembelajaran CTL ini bertujun agar pembelajaran lebih produktif dan bermakna
  6. Model pembelajaran model CTL ini bertujuan untuk mengajak anak pada suatu aktivitas yang mengkaitkan materi akademik dengan konteks jehidupan sehari-hari 
  7. Tujuan pembelajaran model CTL ini bertujuan agar siswa secara individu dapat menemukan dan mentrasfer informasi-informasi komplek dan siswa dapat menjadikan informasi itu miliknya sendiri. 

Berikut ini adalah contoh penerapan CTL, yakni:

Misalnya, pada suatu hari guru akan membelajarkan anak tentang fungsi pasar. Kompetensi yang harus dicapai adalah kemampuan anak untuk memahami fungsi dan jenis pasar. Untuk mencapai kompetensi tersebut dirumuskan beberapa indikator hasil belajar:

  1. Siswa dapat menjelaskan pengertian pasar;
  2. Siswa dapat menjelaskan jenis-jenis pasar;
  3. Siswa dapat menjelaskan perbedaan karakteristik antara pasar tradisional dengan pasar non-tradisional (misalnya swalayan atau mall);
  4. Siswa dapat menyimpulkan tentang fungsi pasar; dan
  5. Siswa dapat membuat karangan yang ada kaitannya dengan pasar.

 

  1. Pola Pembelajaran Konvensional

Untuk mencapai tujuan kompetensi di atas, mungkin guru menerapkan strategi pembelajaran sebagai berikut:

  1. Siswa disuruh untuk membaca buku tentang pasar.
  2. Guru menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan pokok-pokok materi pelajaran seperti yang terkandung dalam indikator hasil belajar.
  3. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya manakala ada hal-hal yang dianggap kurang jelas (diskusi)
  4. Guru mengulas pokok-pokok materi pelajaran yang telah disampaikan dilanjutkan dengan menyimpulkan.
  5. Guru melakukan postes sebagai upaya untuk mengecek terhadap pemahaman siswa tentang materi pelajaran yang telah disampaikan.
  6. Guru menugaskan kepada siswa untuk membuat karangan sesuai dengan tema “Pasar”.

 

  1. Pola Pembelajaran CTL

Untuk mencapai kompetensi yang sama dengan menggunakan CTL guru melakukan langkah-langkah pembelajaran seperti di bawah ini:

  1. a.      Pendahuluan
    1. Guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari proses pembelajaran dan pentingnya materi pelajaran yang akan dipelajari.
    2. Guru menjelaskan prosedur pembelajaran CTL:

1)      Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah siswa;

2)      Tiap kelompok ditugaskan untuk melakukan observasi, misalnya kelompok 1 dan 2 melakukan observasi ke pasar tradisional, dan kelompok 3 dan 4 melakukan observasi ke pasar modern;

3)      Melalui observasi siswa ditugaskan untuk mencatat berbagai hal yang ditemukan di pasar-pasar tersebut.

  1. Guru melakukan tanya jawab sekitar tugas yang harus dikerjakan oleh setiap siswa.
  2. b.      Inti

Di lapangan

  1. Siswa melakukan observasi ke pasar sesuai dengan pembagian tugas kelompok.
  2. Siswa mencatat hal-hal yang mereka temukan di pasar sesuai dengan alat observasi yang telah mereka tentukan sebelumnya.

 

Di dalam kelas

  1. Siswa mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan kelompoknya masing-masing.
  2. Siswa melaporkan hasil diskusi.
  3. Setiap kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh kelompok lainnya.

 

  1. c.       Penutup
    1. Dengan bantuan guru siswa menyimpulkan hasil observasi sekitar masalah pasar sesuai dengan indikator hasil belajar yang harus dicapai.
    2. Guru menugaskan siswa untuk membuat karangan tentang pengalman belajar mereka dengan tema “pasar”.

 

  1. F.     Beberapa Hal Penting Dalam Pembelajaran CTL
    1. CTL adalah model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa secara penuh, baik fisik maupun mental.
    2. CTL memandang bahwa belajar bukan menghafal akan tetapi proses berpengalaman dalam kehidupan nyata.
    3. Kelas, dalam pembelajaran CTL bukan sebagai tempat untuk memperoleh informasi, akan tetapi sebagai tempat untuk menguji data hasil temuan mereka di lapangan.
    4. Materi pelajaran ditemukan oleh siswa sendiri, bentuk hasil pemberian dari orang lain.

 

RANGKUMAN

Contextual Teaching Learning(CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkanya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 asas. Asas-asas tersebut adalah: (1) konstruktivisme, (2) inquiry, (3) bertanya, (4) masyarakat belajar, (5) pemodelan, (6) refleksi, dan (7) penilaian nyata.

Model pembelajaran CTL ini bertujuan untuk memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari sehingga siswa memiliki pengetahuan atu ketrampilan yang secara refleksi dapat diterapkan dari permasalahan kepermasalahan lainya. Selain itu, tujuan pembelajaran model CTL ini juga bertujuan agar siswa secara individu dapat menemukan dan mentrasfer informasi-informasi komplek dan siswa dapat menjadikan informasi itu miliknya sendiri.

Untuk mencapai kompetensi yang sama dengan menggunakan CTL guru melakukan langkah-langkah pembelajaran seperti di bawah ini:

  1. a.      Pendahuluan: Guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari proses pembelajaran dan pentingnya materi pelajaran yang akan dipelajari.
  2. b.      Inti: kegiatan inti dapat dilakukan di lapangan maupun di dalam kelas.
  3. c.       Penutup
    1. Dengan bantuan guru, siswa menyimpulkan hasil observasi sekitar masalah pasar sesuai dengan indikator hasil belajar yang harus dicapai.
    2. Guru menugaskan siswa untuk membuat karangan tentang pengalman belajar mereka dengan tema “pasar”.

 

SOAL

  1. Bagaimana pola pembelajaran CTL? Jelaskan!
  2. Sebutkan dan jelaskan asas-asas dalam pembelajaran CTL!
  3. CTL merupakan pembelajaran yang menekankan pada keaktifan siswa dalam pembelajaran di kelasa maupun di lapangan. Berikan contoh penerapan pembelajaran CTL pada bidang bahasa Indonesia?
  4. Jelaskan pada kondisi seperti apa pembelajaran CTL paling tepat dan sesuai digunakan dalam pembelajaran?
  5. Buatlah contoh langkah-langkah pembelajaran CTL dalam mata kuliah Belajar dan Pembelajaran!
  6. Sebutkan dan jelaskan ciri-ciri dari pembelajaran CTL!
  7. Model pembelajaran CTL menekankan pada pengembangan minat pengalaman siswa. Jelaskan maksud dari pernyataan tersebut!
  8. Penerapan asas inquiri dalam pembelajaran CTL, dimulai dari adanya kesadaran siswa akan masalah yang jelas yang ingin dipecahkan. Bagaimana cara menumbuhkan kesadaran siswa akan masalah yang dihadapi?
  9. Menurut John Piaget (dalam Sanjaya, 2011:118), pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari obyek semata, akan tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subyek yang menangkap objek yang diamatinya. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Jelaskan!
  10. Sebutkan tujuan dari pembelajaran CTL!

 

 

 

Daftar Rujukan

Sanjaya, Wina. 2011. Pembelajaran dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Prenada Media Group.

Sugiyanto. 2007. Modul Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG): Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13 Surakarta.

http://www.pendidikanekonomi.com/2012/03/pengertian-tujuan-dan-strategi.html